MAKALAH KEKURANGAN ENERGI PROTEIN ( KEP )
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
KRISIS ekonomi
berkelanjutan berdampak buruk bagi pengembangan sumber daya bangsa Indonesia.
Unicef 1999 menyebutkan, tingkat inflasi di Indonesia mencapai 80 persen,
pengangguran nyata 17 juta orang, dan tingkat kemiskinan 174 juta orang. Semua
ini berdampak pada kekurangan pangan, yang menurunkan kualitas kesehatan dan
status gizi masyarakat.
Hingga saat ini
masalah gizi utama di Indonesia ada empat, yaitu kurang energi protein (KEP),
anemia gizi besi, kekurangan yodium dan kurang vitamin A. KEP merupakan masalah
gizi yang paling banyak terjadi, terbukti dengan ditemukannya anak balita (usia
1-5 tahun) penderita KEP berat (marasmus dan kwashiorkor).
Masa balita adalah the point of
no return. Perkembangan otak tidak bisa diperbaiki bila mereka
kekurangan gizi pada masa ini. Pertumbuhan fisik dan intelektualitas anak akan
terganggu. Hal ini menyebabkan mereka menjadi generasi yang hilang, dan negara
kehilangan sumber daya manusia yang berkualitas.
1.2.Degradasi kualitas
Situasi rawan
gizi pada anak balita dan usia sekolah tidak boleh dipandang sebelah mata,
karena menimbulkan akibat lanjutan yang kompleks dan berujung pada degradasi
kualitas sumber daya. Hal itu karena pertama, masalah gizi yang parah pada usia
muda akan menghambat laju tumbuh-kembang keadaan fisik anak. KEP berkelanjutan
membuat anak menderita marasmus-kwashiorkor. Kekurangan yodium dalam jangka
panjang dapat menimbulkan gondok endemik, bahkan mengakibatkan kretinisme atau
cebol.
Anemia zat gizi
besi berkepanjangan menghambat pertumbuhan fisik, meningkatkan risiko penyakit
infeksi, bahkan menghambat aktivitas kognitif dan daya tahan fisik. Akibat
buruk lainnya adalah kekurangan gizi akan meningkatkan jumlah anak dengan
tinggi badan terhambat, 10 cm lebih pendek dibandingkan anak sehat berusia
sama.
Kedua, masalah
gizi menghambat perkembangan kecerdasan. Kasus malnutrisi akan menyebabkan
Indonesia kehilangan lebih dari 200 juta angka potensi IQ/tahun (30 persen dari
peluang produktivitas).
Ketiga,
penyakit degeneratif pada usia muda-yang bukan disebabkan oleh faktor
genetika-dapat timbul akibat masalah gizi. Pada penderita gizi buruk, struktur
sel-sel tubuh tidak tumbuh sempurna. Misalnya jumlah pertumbuhan sel otak tidak
maksimum, terjadinya jantung koroner, serta rusaknya pankreas yang mengakibatkan
insulin tidak berfungsi optimal sehingga anak menderita diabetes.
Keempat,
malnutrisi berkelanjutan meningkatkan angka kematian anak. Setiap tahun,
diperkirakan tujuh persen anak balita Indonesia (sekitar 300.000 jiwa)
meninggal. Ini berarti setiap dua menit terjadi kematian satu anak balita dan
170.000 anak (60 persen) di antaranya akibat gizi buruk.
Kasus gizi
buruk pada anak-anak Indonesia harus pula dilihat dari persepektif keadilan dan
hak asasi manusia (HAM). Ini dapat dirujuk pada UUD 1945, UU No 4/1979 tentang
Kesejahteraan Anak, Konvensi Hak Anak (telah diratifikasi dengan Keppres No
36/1990), serta UU No 7/1996 tentang Pangan.
Negara memiliki
tiga kewajiban untuk memenuhi hak atas kecukupan pangan warga, yaitu
menghormati, melindungi dan memenuhi segala kebutuhannya. Jadi penanggulangan
masalah gizi buruk melalui pengadaan serta ketersediaan pangan berkelanjutan
merupakan tanggung jawab negara. Timbulnya kasus malnutrisi pada anak dapat
dikatakan sebagai pengabaian anak oleh negara ataupun perlakuan salah pada anak
oleh negara. Pada tingkat terjadinya masalah gizi yang parah, dapat dikatakan
negara telah melakukan sikap kekerasan, mengarah pada terjadinya pelanggaran
hak asasi masyarakat oleh negara.
1.3. Tujuan
Untuk mempelajari mengenai Kekurangan Energi Protein
(KEP), berdasarkan pendekatan epidemiologi (distribusi, frekuensi dan
determinan masalah KEP).
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.Definisi
KEP
KEP adalah keadaan kurang gizi yang
disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi protein dalam makanan sehari-hari
sehingga tidak memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG). Klasifikasi KEP,
berdasarkan penimbangan BB anak dibandingkan dengan umur dan menggunakan KMS
dan tabel BB/U Baku Median WHO-NCHS
a)
KEP ringan bila hasil penimbangan berat badan pada KMS
terletak pada pita warna kuning
b)
KEP ringan bila hasil penimbangan berat badan
pada KMS terletak pada di bawah Garis Merah (BGM)
c)
KEP berat/gizi buruk bila hasil
penimbangan BB/U <>Pada KMS tidak ada garis pemisah KEP berat/Gizi buruk
dan KEP sedang, sehingga untuk menentukan KEP berat/gizi buruk digunakan Tabel
BB/U Baku Median WHO-NCHS
2.2. Gejala Klinis Balita KEP berat/Gizi Buruk
Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis
yang ditemukan hanya anak tampak kurus. Gejala klinis KEP berat/gizi buruk
secara garis besar dapat dibedakan sebagai marasmus, kwashiorkor, atau
marasmic-kwashiorkor. Tanpa mengukur/ melihat BB bila disertai edema yang bukan karena
penyakit lain adalah KEP berat/Gizi buruk tipe kwashiorkor.
2.3. Kwashiorkor
a)
Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki
b)
Wajah membulat dan sembab
c)
Pandangan mata sayu
d)
Rambut tipis seperti warna rambut jagung, mudah dicabut
tanpa rasa sakit, rontok
e)
Perubahan status mental, apatis, rewel\Pembesaran hati
f)
Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada
posisi berdiri atau duduk
g)
Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan dan
berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas
h)
Sering disertai : penyakit infeksi, umumnya akut .Anemia,
Diare.
2.4. Marasmus
a) Tampak sangat kurus, tinggal tulang
terbungkus kulit
b) Wajah seperti orang tua
c) Cengeng, rewel
d) Kulit keriput, jaringan lemak
subkutis sangat sedikit sampai tidak ada
e) Perut cekung
f) Iga ngambang
g) Sering disertai penyakit infeksi
(umumnya kronis berulang)
h) Diare kronik atau konstipasi/susah
buang air.
2.5. Marasmik-kwashiorkor
Tanda-tanda marasmik-kwashiorkor
adalah gabungan dari tanda-tanda yang ada pada marasmus dan kwashiorkor.
2.6. Penderita KEP
Penderita
Kurang Energi Protein (KEP) pada umumnya adalah anak balita. KEP ditemukan pada
35,4 persen anak balita (sekitar 8,5 juta jiwa) tahun 1995, dan meningkat
menjadi 39,8 persen tahun 1998. Data Unicef tahun 1999 menunjukkan, 10-12 juta
(50-69,7 persen) anak balita Indonesia (empat juta di antaranya di bawah satu
tahun) berstatus gizi sangat buruk dan mengakibatkan kematian
2.7. Distribusi Penderita KEP
Di Pulau Lombok dalam kurun watu
Januari-Mei 2005 dilaporkan delapan anak meninggal dunia akibat busung lapar
yang dialami 388 balita. Perinciannya, Kota Mataram 23 kasus
kelaparan, dua di antaranya meninggal. Kabupaten Lombok Barat 133 kasus
kelaparan, lima anak meninggal dunia. Kabupaten Lombok Tengah tujuh kasus
kelaparan satu anak meninggal, dan Kabupaten Lombok Timur 175 kasus kelaparan
dan belum ada laporan yang meninggal dunia.
Anak-anak yang terserang penyakit
marasmus (kekurangan karbohidrat) di NTT hingga 1 Juni 2005 tercatat 113 orang
dan yang kekurangan protein lima orang.
Di Kota Bogor terdapat lima balita
yang meninggal akibat busung lapar (marasmus), sedangkan di Jawa Tengah, yaitu
di Pemalang, terdapat 37 anak dan balita yang dinyatakan mengalami gizi buruk,
tiga di antaranya meninggal dunia. Di Kota Tegal terdapat dua balita mengalami
gizi buruk, di Cilacap 372 anak balita mengalami gizi buruk, dan di Rembang
ditemukan 710 balita yang mengalami gizi buruk dan tiga di antaranya kondisinya
cukup memprihatinkan sehingga harus dikirim ke puskesmas.
2.8. Penyebab Terjadinya KEP serta Upaya Pencegahannya
Busung
lapar disebabkan oleh keadaan kurang gizi karena rendahnya konsumsi energi dan
protein dalam makanan sehari-hari mereka sehingga tidak memenuhi angka
kecukupan gizi (AKG). Keadaan kurang gizi itu biasa disebut dengan
kurang energi protein (KEP)
Busung
lapar yang dalam bahasa Belanda disebut honger oedem (HO) itu antara
lain dapat terjadi karena masalah ekonomi orang tua yang terimpit kemiskinan.
Anak menderita sakit yang tak sembuh-sembuh sehingga susah makan. Sanitasi
lingkungan yang buruk dan pemahaman warga terhadap kesehatan kurang. Selain
itu, bisa juga disebabkan oleh pola konsumsi yang tidak memperhatikan
keseimbangan gizi. Hal itu dapat menimpa siapa saja, tidak mengenal status
ekonomi. Anak orang yang berkecukupan pun bila tidak diperhatikan keseimbangan
gizinya dapat terkena gizi buruk. Tentang kasus busung lapar di NTB, meskipun surplus
padi, sebagian besar penduduknya bekerja sebagai buruh tani.
2.9.Upaya Pencegahan (Yang harus dilakukan di rumah)
a) Ibu membawa anak untuk ditimbang di
posyandu secara teratur setiap bulan untuk mengetahui pertumbuhan berat
badannnya
b) Ibu memberikan
hanya ASI kepada bayi usia 0 ? 4 bulan
c) Ibu tetap memberikan ASI kepada anak
sampai usia 2 tahun\Ibu memberikan MP-ASI sesuai usia dan kondisi kesehatan
anak sesuai anjuran pemberian makanan
d) Ibu memberikan makanan beraneka
ragam bagi anggota keluarga lainnya
e) Ibu segera memberitahukan pada
petugas kesehatan/kader bila balita mengalami sakit atau gangguan pertumbuhan
f) Ibu menerapkan nasehat yang
dianjurkan petugas
2.10.Langkah preventif
Beberapa
langkah preventif dalam menanggulangi masalah gizi dapat dilakukan pemerintah :
Pertama,
menjamin ketersediaan pangan asal darat dan laut di seluruh negeri.
Ketersediaan pangan masih menjadi masalah besar negeri ini. Tahun 1998,
Indonesia telah menjadi negara pengimpor beras terbesar dunia dengan mengimpor
5,8 juta ton beras (48 persen) produksi beras dunia. Karena itu program
diversifikasi pangan perlu dioptimalkan kembali, untuk mengurangi
ketergantungan pada beras.
Gerakan makan
ikan mendesak dibudayakan lagi, terutama untuk memenuhi kecukupan gizi anak
balita. Ikan, dengan kandungan protein berkisar antara 20-35 persen, berpotensi
tinggi menjadi sumber protein utama dalam konsumsi pangan karena kelengkapan
komposisi kandungan asam amino esensial serta mutu daya cernanya yang setara
dengan telur.
Kandungan asam-asam
amino esensial yang lengkap dan tingginya kandungan asam lemak tak jenuh omega
3 (DHA, docosahexaenoic acid, C22H32O2) dan EPA (eicosapentaenoic
acid, C20H30O2) yang kurang dimiliki oleh produk daratan (hewani dan
nabati), merupakan keunggulan produk kelautan. Budaya makan ikan yang tinggi
dalam masyarakat Jepang telah membuktikan terjadinya peningkatan kualitas
kesehatan dan kecerdasan anak-anak negara itu.
Adanya
kenyataan bahwa Indonesia sebagai negara maritim (luas laut 5,8 juta km2),
menjanjikan potensi pembangunan ekonomi yang luar biasa. Kekayaan laut
Indonesia, ternyata baru sekitar 58,5 persen dari potensi lestari ikan laut
(6,18 juta ton per tahun) yang dimanfaatkan saat ini, sehingga optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya kelautan masih jauh dari harapan.
Tingkat
konsumsi ikan per kapita di Indonesia tahun 1997 adalah 18 kg/kapita/tahun dan
diharapkan menjadi 21,8 kg/kapita/tahun pada tahun 2003. Rendahnya tingkat
konsumsi ikan per kapita per tahun ini menunjukkan masih rendahnya budaya makan
ikan dibanding negara-negara lain seperti Jepang (110 kg), Korea Selatan (85
kg), Amerika Serikat (80 kg), Singapura (80 kg), Hongkong (85 kg), Malaysia (45
kg), Thailand (35 kg), Philipina (24 kg). Penyebabnya adalah rendahnya tingkat
pengetahuan gizi ikan, keterampilan mengolah hasil perikanan, selain
terbatasnya teknologi penangkapan ikan nelayan.
Kedua,
meningkatkan daya beli masyarakat. Secara umum masyarakat Indonesia telah mampu
mengonsumsi makanan yang secara kuantitatif mencukupi. Namun, dari segi kualitatif,
masih banyak yang belum mampu mencukupi kebutuhan gizi minimumnya.
Ketiga,
meningkatkan mutu pendidikan gizi dan kesehatan dalam masyarakat. Hal ini
dirasakan penting karena walaupun langkah pertama dan kedua berhasil dicapai,
bila tidak disertai dengan peningkatan pengetahuan gizi dan kesehatan
masyarakat, timbulnya kasus balita gizi buruk tetap berpeluang terjadi. Hal ini
terbukti dengan adanya 30 persen kasus gizi buruk di Indonesia akibat dari
rendahnya pengetahuan masyarakat tentang gizi dan kesehatan.
Disadari atau
tidak, hilangnya suatu generasi telah terjadi di negeri ini. Maka apabila
kondisi ini tidak segera diatasi, generasi mendatang akan menjadi generasi yang
berkualitas inferior dibandingkan negara-negara lain. Berdasarkan indeks sumber
daya manusia (Human Development Index/HDI) dari UNDP, di tahun 2000 ini
peringkat SDM Indonesia berada di urutan 109 dari 174 negara, terendah di
antara negara-negara Asia.
Peringkat
Indonesia di tahun 2000 itu menunjukkan penurunan bila dibandingkan dengan
tahun 1998, saat itu SDM Indonesia menduduki peringkat 96. Sementara Filipina,
Thailand, Malaysia, Brunei, dan Singapura masing-masing berada pada peringkat
77, 67, 56, 25, dan 22 pada tahun 2000 itu. Ini artinya, Indonesia menjadi
bangsa paling terpuruk di ASEAN saat memasuki AFTA 2003. Pengabaian segala
upaya pengentasan masalah gizi buruk, akan menghancurkan masa depan bangsa.
BAB
III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
KEP adalah keadaan kurang gizi yang
disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi protein dalam makanan sehari-hari
sehingga tidak memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG)
Untuk
KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang ditemukan hanya anak tampak kurus.
Gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan sebagai
marasmus, kwashiorkor, atau marasmic-kwashiorkor.
Kurang
Energi Protein dapat terjadi karena masalah ekonomi orang tua yang terimpit
kemiskinan. Anak menderita sakit yang tak sembuh-sembuh sehingga susah makan.
Sanitasi lingkungan yang buruk dan pemahaman warga terhadap kesehatan kurang.
Selain itu, bisa juga disebabkan oleh pola konsumsi yang tidak memperhatikan
keseimbangan gizi. Hal itu dapat menimpa siapa saja, tidak mengenal status
ekonomi. Anak orang yang berkecukupan pun bila tidak diperhatikan keseimbangan gizinya
dapat terkena gizi buruk.
Beberapa
langkah preventif dalam menanggulangi masalah gizi dapat dilakukan pemerintah :
Pertama, menjamin ketersediaan pangan asal darat dan laut di seluruh negeri.
Kedua, meningkatkan daya beli masyarakat. Ketiga, meningkatkan mutu pendidikan
gizi dan kesehatan dalam masyarakat.
3.2. Saran
a) Diharapkan masyarakat dapat
melakukan satu upaya pencegahan terhadap penyakit akibat Kekurangan Energi
Protein (KEP).
b) Untuk mengantisipasi
masalah tersebut diperlukan kesiapan dan pemberdayaan tenaga kesehatan dalam
mencegah dan menanggulangi KEP berat/gizi buruk secara terpadu ditiap jenjang
administrasi, termasuk kesiapan sarana pelayanan kesehatan seperti Rumah Sakit
Umum, Puskesmas perawatan, puskesmas, balai pengobatan (BP), puskesmas
pembantu, dan posyandu/PPG (Pusat Pemulihan Gizi)
DAFTAR PUSTAKA