PERSOALAN – PERSOALAN EKONOMI PERTANIAN
- Jarak waktu yang lebar antara pengeluaran dan penerimaan
pendapatan dalam pertanian
Banyak persoalan yang di hadapi oleh
petani baik yang berhubungan langsung dengan produksi dan pemasaran hasil –
hasil pertaniannyanmaupun yang di hadapi dalam kehidupannya sehari – hari.
Selain merupakan usaha, bagi si petani pertanian sudah merupakan bagian dari
hidupnya, bahkan suatu”cara hidup”(way of life), sehingga tidak hanya aspek
ekonomi saja tetapi aspek – aspek social dan kebudayaan, aspek kepercayaan dan
keagamaan serta aspek – aspek tradisi semuanya memegang peranan penting dalam
tindakan – tindakan petani. Namun demikian dari segi ekonomi pertanian,
berhasil tidaknya produksi petani dan tingkat harga yang di terima oleh petani
unyuk hasil produksinya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perilaku dan
kehidupan petani.
Perbedaan yang jelas antara persoalan
– persoalan ekonomi pertanian dan persoalan ekonomi di luar bidang pertanian
adalah adanya jarak waktu (gap) antara pengeluaran yang harus dilakukan para
pengusaha pertanian dengan penerimaan hasil penjualan. Jarak waktu ini sering
pula di sebut gestation periode, yang dalam bidang pertanian jauh lebih besar dari
pada dalam bidang industri. Di dalam bidang industri, sekali produksi telah
berjalan maka penerimaan dar penjualan akan mengalir setiap hari sebagaimana
mengalirnya hasil produksi. Dalam bidang pertanian tidak demikian kecuali bagi para nelayan penangkap ikan yang dapat
menerima hasil setiap hari sehabis ia menjual ikannya.
Tidak saja petani padi misalnya yang
harus menunggu 5-6 bulan sebelum panennya dapat di jual, tetapi juga perkebunan
besar seperti perkebunan tembakau atau kelapa sawit,jarak waktu antara
pengeluaran dan penerimaan ini sangat besar. Keadaan yang demikian mempunyai
berbagai implikasi penting dari segi ekonomi pertanian.
Di antara hasil – hasil pertanian
terpenting, tanaman musiman bahan makanan seperti padi, jagung dan kacang –
kacangan mempunyai persoalan yang paling menarik. Untuk tanaman yang bersifat
musiman seperti ini maka pada musim panen ( dalam keadaan pasar yang normal)
terdapat harga yang rendah dan pada musim paceklik terdapat harga yang tinggi.
Perbedaan musin ini sangat mencolok untuk padi di Jawa dimana hampir dua
pertiga dari seluruh panen padi tanam sekitar bulan – bulan November – Januari
dan panen pada bulan – bulan April - Juni.
Jadi ciri khas kehidupan petani
adalah perbedaan pola penerimaan pendapatan dan pengeluarannya. Pendapatan
petani hanya di terima setiap musim panen, sedangkankan pengeluaran harus
diadakan setiap hari, setiap minggu atau kadang – kadang dalam waktu yang
sangat mendesak sebelum panen tiba.
Petani kaya dapat menyimpan hasil
panennya yang besar untuk kemudian di jual dikit demi sedikit pada waktu keperluannya
tiba. Tetapi berhubung padatnya penduduk petani maka milik tanah pertanian
menjadi sangat kecil sehingga hasil bersih dari tanah pertaniannya biasanya
tidak mencukupi keperluan hidup petani sepanjang tahun. Itulah sebabnya
kebanyakan keperluan petani yang besar seperti memperbaiki rumah, membeli
sepeda atau pakaian, hanya dapat di penuhi pada masa panen. Karena harga hasil
– hasil pertanian sangat rendah pada
masa panen maka sebenarnya petani dua kali terpukul, yaitu pertama karena harga
hasil produksinya yang rendah dan kedua karena ia harus menjual lebih banyak
untuk mencapai jumlah uang yang di perlukannya. Misalnya untuk membeli sebuah
radio transistor, pada saat panen padi
di jualnya setengah ton padahal pada saat – saat lain tidak perlu di jual
sebanyak itu, biasanya untuk keperluan – keperluan besar seperti ini petani
mengharapkan panenan di luar padi seperti tembakau, kacang tanah atau tanaman –
tanaman perdagangan lain. Di samping itu ternak dapat pula diusahakan untuk di
jual guna memenuhi kebutuhan serupa itu.
Yang sering sangat merugikan petani
adalah pengeluaran – pengeluaran besar petani yang kadang – kadang tidak dapat
di atur dan tidak dapat di tunggu sampai panen tiba, misalnya kematian dan
tidak jarang juga pesta perkawinan atau selamatan lain – lain. Dalam hal
demikian petani sering menjual tanamannya pada saat masih hijau di sawah atau
perkarangan dan lading – ladangnya baik dengan harga penuh atau serupa pinjaman
sebagian.
Penjualan tanaman selama masih hijau
di sebut ijon. Di banyak tempat system penjualan ijon ini bahkan dapat lebih
jauh lagi yaitu 2-3 panenan atau 2-3 tahun sebelumnya dengan harga yang jauh
lebih rendah. Masalah demikian merupakan masalah yang gawat dan sukar sekali
dipecahkan terutama di jawa. Petani jatuh dalam hutang yang maka makin menjadi
makin berat.
Tetapi pandangan kebanyakan orang
terhadap persoalan ijon ini kadanng – kadang tidak tepat. Ijon di anggap
merupakan hantu dan penyakit yang harus d berantas dengan segala cara.
Mengingat tujuannya, pemberantasan system ijon adalah benar dan semua pihak
menginginkan nya termasuk petani sendiri yang terlibat dalam system itu.
Menurut definisi dan pengertian sehari – hari, system ijon adalah system “
pinjam” dengan jaminan tanaman hidup dengan bunga yang sangat tinggi, jauh
llebih tinggi dari pada tingkat bunga yang berlaku.
Kalau tidak terpaksa, petani tidak
akan meminjam uang menurut system ijon dengan bunga yang sangat tinggi itu
karena ini berarti menggelapkan hari depan kehidupan petani dan keluarganya.
Namun demikian banyak di antara kita sering tidak menyadari bahwa petani
biasanya tidak mempunyai alternative yang lebih baik, sehingga dalam keadaan
mendesak ini ia sangat membutuhkan sehingga tindak memandang petani kaya atau
pemilik uang yang menolongnya sebagai pihak yang harus di benci.
Sebaliknya petani berterima kasih
kepadanya dan menganggapnya sebagai orang yang suka menolong orang lain yang
sedang dalam kesulitan. Karena itu system ijon tidak dapat di berantas dengan
cara melarangnya, tetapi dengan cara menciptakan system kredit yang lebih
ringan yang merupakan alternative lebih baik dari system ijon itu.
Demikianlah, masalah fluktasi harga
hasil – hasil pertanian yang di sebabkan oleh adanya fluktasi musiman merupakan
fenomena yang biasa dalam kehidupan ekonomi pertanian. Dalam bidang – bidang di
luar pertanian ada pula jarak waktu(gap) antara saat – saat pengeluaran dan
penerimaan, walaupun dalam bidang pertanian jarak waktu ini biasanya lebih
panjang sehingga persoalan yang di timbulkannya menjadi gawat. Untuk mengatasi
persoalan – persoalan demikian maka salah satu tujuan utama kebijaksanaan
pertanian adalah mengusahakan stabilitasi harga dan pendapatan petani antara
musim yang satu dengan musim yang lain dari tahun ke tahun. Fluktasi harga yang
terlalu besar akan merupakan penghambat pembangunan pertanian. Harga dan
pendapatan yang rendah mengurangi semangat petani untuk berproduksi dan
sebaliknya harga dan pendapatan yang tinggi merangsang kaum tani. Kebijaksanaan
harga beras yang di mulai pada tahun 1969 dengan menentukan harga tertinggi dan
harga terendah adalah dalam rangka stabilitas harga dan pendapatan petani ini.
Juga kebijaksanaan pemerintah pada sector Pertanian
- Pembiyaan Pertanian
Dengan titik tolak kenyataan adanya
kemelaratan yang luas di kalangan petani, keterlibatan mereka pada hutang, baik
hutang biasa maupun dengan system ijon, maka biasanya orang lalu menyimpulkan
bahwa persoalan yang paling sulit dalam ekonomi pertanian adalah persoalan
pembiayaan. Orang mengatakan bahwa petani tidak dapat meningkatkan produksinya
karena kurang biaya. Petanni memerlukan kredit murah dari Bank Rakyat dan
sebagainya.
Sudah dijelaskan bahwa jatuhnya
petani ke dalam hutang melalui system ijon adalah karena tidak ada alternative kredit
lebih bagi petani. Kalau dalam keadaan demikian Bank Desa dapat memberikan
kredit kepada petani dengan bunga yang lebih rendah, maka petani sungguh –
sungguh tetolong. Apabila demikian, keadaan petani dapat di selamatkan dari
ancaman system ijoj. Tetapi dalam praktek masalahnya tidak sederhana
sebagaimana di bayangkan.
- Tekanan Penduduk dan Pertanian
Contoh persoalan lain yang sifatnya
lebih jelas lagi dalam ekonomi pertanian adalah persoalan yang menyangkut
hubungan antara pembangunan pertanian dan jumlah penduduk.
Malthus dalam tahun 1888 menerbitkan
buku yang terkenal mengenai persoalan – persoalan penduduk dan masalah
pemenuhan kebutuhan manusia akan bahan makanan. Penduduk bertambah lebih cepat
dari pada pertambahan produksi bahan makanan. Penduduk bertambah menurut deret
ukur, sedangkan produksi bahan makanan hanyya bertambah menurut deret hitung.
Walaupun demikian ternyata kemajuan tekhnologi mampu melipat gandakan produksi
bahan makanan dan produksi pertanian umumnnya. Akan tetapi sampai sekarang
Malthus tetap di akui sebagai bapak ilmu persoalan penduduk. Setiap pembicaraan
soal penduduk selalu sampai pada “hokum Malthus”. Persoalan tekanan penduduk di
Indonesia
juga sudah lama menjadiobyek penelitian para ahli. Indonesia adalah Negara terbesar
nomor 5 di dunia dengan jumlah penduduk 132 juta orang pada tahun 1975. selama
bertahun – tahun Indonesia
terpaksa mengimpor bahan makanan utama yaitu beras di samping bulgur dan tepung
terigu. Dalam tahun 1975 Indonesia
mengimpor beras seharga US
439,4 juta ( yaitu kurang lebih 10% dari nilai impor Indonesia secara keseluruhan).
Persoalan penduduk di Indonesia
sebenarnya lebih kompleks dari pada itu. Tidak hanya penduduk sangat padat dan
tingkat pertambahan tiap tahun yang tinggi, tapi juga pembagiannya antar daerah
tidak seimbang. Komposisinya menunjukkan suatu penduduk yang muda dengan
pemusatan penduduk di kota – kota besar. Tingkat pertambahan penduduk
tinggi, karena angka kelahiran tinggi, sedangkan angka kematian menurun.
Menurunnya angka kematian disebabkan oleh kemajuan kesehatan dan sanitasi.
Tingkat pertambahan penduduk untuk Indonesia adalah 2,1 % antara tahun 1961 – 1971.
Di tinjau dari sudut ekonomi
pertanian maka adanya persoalan penduduk dapat di lihat dari tanda – tanda
berikut :
1.
persediaan tanah pertanian yang
makin kecil.
2.
produksi bahan makanan perjiwa
yang terus menurun
3.
bertambahnya pengangguran
4.
memburuknya hubungan-hubungan
pemilik tanah dan bertambahnya hutang – hutang pertanian.
Dengan gejala – gejala tersebut maka
tidaklah mungkin kita memastikan secara mudah kelebihan penduduk di Jawa hanya
dengan menggunakan satu bukti statistic seperti persediaan tanah pertanian
perjiwa. Dengan penelitian yang lebih mendalam maka akan terlihat bahwa
pembagian penduduk di Pulau Jawa pun tidak seimbang. Di daerah tertentu seperti
Yogyakarta dan bekas Karesidenan Kedu penduduk
sangat padat tetapi di daerah – daerah lain penduduk tidak sepadat seperti di
kedua daerah tersebut. Tedapat pertanian yang tersebar dan di daerah – daerah
dekat kota
dimana telah tersedia lebih banyak lapangan kerja. Daerah - daerah yang miskin seperti Gunung Kidul,
Wonogiri atau Purwodadi di jawa jumlah penduduknya relative jarang. Sementara
itu, kalau hanya mengingat uas tanah pertanian yang tersedia perjiwa tanpa mengindahkan
sumber – sumber penghidupan lain yang mungkin tersedia bagi petani, maka
kesimpilan kelebihan penduduk dapat juga keliru.
- Pertanian Subsisten
Perkataan subsisten ini banyak sekali
di pakai dalam berbagai karangan mengenai ekonomi pertanian sebagai terjemahan
dari perkataan subsistence dari kata subsist yang berate hidup. Pertanian yang
subsisten dengan demikian di srtikan sebagai sustu system bertani dimana tujuan
utama dari si petani adalah untuk memenuhi keperluan hidupnya beserta
keluarganya.
Namun dalam menggunakan definisi yang
demikian sejak semula harus di ingat bahwa tidak ada petani subsistem yang
begitu homegen, yang begitu sama sifat – sifatnya satu dari yang lain. Dalam
kenyataannya petani subsisten ini sangat berbeda-beda dalam hal luas dan
kesuburan tanah yang di milikinya dan dalam kondisi – kondisi social ekonomi
lingkungan kehidupannya.
Apa yang sama di antara mereka adalah
bahwa mereka memandang pertanian sebagai sarana pokok untuk memenuhi kebutuhan
keluarga yaitu melalui hasil produksi pertanian itu.
Dengan definisi tersebut sama sekali
tidak berarti bahwa petani subsisten tidak berpikir dalam pengertian itu,
tetapi tidak dalam bentuk pengeluaran biaya tunai, melainkan dalam kerja,
kesempatan beristirahat dan partisipasi dalam kegiatan – kegiatan upacara adat
dan lain – lain.
Yang di anggap sebagai hasil
penerimaan adalah apa yang dapat dinikmatinya secara pribadi dan bersama – sama
masyarakat. Sedangkan biaya adalah apa yang tidak dinikmatinya.
Perhatian dan penelitian yang
mendalam mengenai petani dan pertanian subsisten ini relative bulum lama, namun
banyak ahli ekonomi, antropologi dan sosiologi yang menaruh perhatian sangat
besar terhadap persoalan ini karena mereka berkeyakinan bahwa petani subsisten
mempunyai cirri – cirri khas yang harus di perhatikan dalam kebijaksanaan
pertaniaan.
Tanpa latar belakang pengetahuan
teroritis mengenai cirri – cirri mereka, maka suatu tindakan kebijaksanaan
unntuk membantu meningkatkan produktivitas tidak akan mengenai sasarannya.
Itula sebabnya banyak ahli dari berbagai cabang pengetahuan social ekonomi
pertanian dan pedesaan tekun mengadakan penellitian di berbagai negara dan
hasil – hasilnya telah disebutkan di atas yaitu subsistence agriculture and
economic Development.