PERSOALAN – PERSOALAN EKONOMI PERTANIAN



  1. Jarak waktu yang lebar antara pengeluaran dan penerimaan pendapatan dalam pertanian

Banyak persoalan yang di hadapi oleh petani baik yang berhubungan langsung dengan produksi dan pemasaran hasil – hasil pertaniannyanmaupun yang di hadapi dalam kehidupannya sehari – hari. Selain merupakan usaha, bagi si petani pertanian sudah merupakan bagian dari hidupnya, bahkan suatu”cara hidup”(way of life), sehingga tidak hanya aspek ekonomi saja tetapi aspek – aspek social dan kebudayaan, aspek kepercayaan dan keagamaan serta aspek – aspek tradisi semuanya memegang peranan penting dalam tindakan – tindakan petani. Namun demikian dari segi ekonomi pertanian, berhasil tidaknya produksi petani dan tingkat harga yang di terima oleh petani unyuk hasil produksinya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perilaku dan kehidupan petani.
Perbedaan yang jelas antara persoalan – persoalan ekonomi pertanian dan persoalan ekonomi di luar bidang pertanian adalah adanya jarak waktu (gap) antara pengeluaran yang harus dilakukan para pengusaha pertanian dengan penerimaan hasil penjualan. Jarak waktu ini sering pula di sebut gestation periode, yang dalam bidang pertanian jauh lebih besar dari pada dalam bidang industri. Di dalam bidang industri, sekali produksi telah berjalan maka penerimaan dar penjualan akan mengalir setiap hari sebagaimana mengalirnya hasil produksi. Dalam bidang pertanian tidak demikian kecuali  bagi para nelayan penangkap ikan yang dapat menerima hasil setiap hari sehabis ia menjual ikannya.
Tidak saja petani padi misalnya yang harus menunggu 5-6 bulan sebelum panennya dapat di jual, tetapi juga perkebunan besar seperti perkebunan tembakau atau kelapa sawit,jarak waktu antara pengeluaran dan penerimaan ini sangat besar. Keadaan yang demikian mempunyai berbagai implikasi penting dari segi ekonomi pertanian.
Di antara hasil – hasil pertanian terpenting, tanaman musiman bahan makanan seperti padi, jagung dan kacang – kacangan mempunyai persoalan yang paling menarik. Untuk tanaman yang bersifat musiman seperti ini maka pada musim panen ( dalam keadaan pasar yang normal) terdapat harga yang rendah dan pada musim paceklik terdapat harga yang tinggi. Perbedaan musin ini sangat mencolok untuk padi di Jawa dimana hampir dua pertiga dari seluruh panen padi tanam sekitar bulan – bulan November – Januari dan panen pada bulan – bulan April - Juni.
Jadi ciri khas kehidupan petani adalah perbedaan pola penerimaan pendapatan dan pengeluarannya. Pendapatan petani hanya di terima setiap musim panen, sedangkankan pengeluaran harus diadakan setiap hari, setiap minggu atau kadang – kadang dalam waktu yang sangat mendesak sebelum panen tiba.
Petani kaya dapat menyimpan hasil panennya yang besar untuk kemudian di jual dikit demi sedikit pada waktu keperluannya tiba. Tetapi berhubung padatnya penduduk petani maka milik tanah pertanian menjadi sangat kecil sehingga hasil bersih dari tanah pertaniannya biasanya tidak mencukupi keperluan hidup petani sepanjang tahun. Itulah sebabnya kebanyakan keperluan petani yang besar seperti memperbaiki rumah, membeli sepeda atau pakaian, hanya dapat di penuhi pada masa panen. Karena harga hasil – hasil pertanian sangat rendah  pada masa panen maka sebenarnya petani dua kali terpukul, yaitu pertama karena harga hasil produksinya yang rendah dan kedua karena ia harus menjual lebih banyak untuk mencapai jumlah uang yang di perlukannya. Misalnya untuk membeli sebuah radio transistor, pada  saat panen padi di jualnya setengah ton padahal pada saat – saat lain tidak perlu di jual sebanyak itu, biasanya untuk keperluan – keperluan besar seperti ini petani mengharapkan panenan di luar padi seperti tembakau, kacang tanah atau tanaman – tanaman perdagangan lain. Di samping itu ternak dapat pula diusahakan untuk di jual guna memenuhi kebutuhan serupa itu.
Yang sering sangat merugikan petani adalah pengeluaran – pengeluaran besar petani yang kadang – kadang tidak dapat di atur dan tidak dapat di tunggu sampai panen tiba, misalnya kematian dan tidak jarang juga pesta perkawinan atau selamatan lain – lain. Dalam hal demikian petani sering menjual tanamannya pada saat masih hijau di sawah atau perkarangan dan lading – ladangnya baik dengan harga penuh atau serupa pinjaman sebagian.
Penjualan tanaman selama masih hijau di sebut ijon. Di banyak tempat system penjualan ijon ini bahkan dapat lebih jauh lagi yaitu 2-3 panenan atau 2-3 tahun sebelumnya dengan harga yang jauh lebih rendah. Masalah demikian merupakan masalah yang gawat dan sukar sekali dipecahkan terutama di jawa. Petani jatuh dalam hutang yang maka makin menjadi makin berat.
Tetapi pandangan kebanyakan orang terhadap persoalan ijon ini kadanng – kadang tidak tepat. Ijon di anggap merupakan hantu dan penyakit yang harus d berantas dengan segala cara. Mengingat tujuannya, pemberantasan system ijon adalah benar dan semua pihak menginginkan nya termasuk petani sendiri yang terlibat dalam system itu. Menurut definisi dan pengertian sehari – hari, system ijon adalah system “ pinjam” dengan jaminan tanaman hidup dengan bunga yang sangat tinggi, jauh llebih tinggi dari pada tingkat bunga yang berlaku.
Kalau tidak terpaksa, petani tidak akan meminjam uang menurut system ijon dengan bunga yang sangat tinggi itu karena ini berarti menggelapkan hari depan kehidupan petani dan keluarganya. Namun demikian banyak di antara kita sering tidak menyadari bahwa petani biasanya tidak mempunyai alternative yang lebih baik, sehingga dalam keadaan mendesak ini ia sangat membutuhkan sehingga tindak memandang petani kaya atau pemilik uang yang menolongnya sebagai pihak yang harus di benci.
Sebaliknya petani berterima kasih kepadanya dan menganggapnya sebagai orang yang suka menolong orang lain yang sedang dalam kesulitan. Karena itu system ijon tidak dapat di berantas dengan cara melarangnya, tetapi dengan cara menciptakan system kredit yang lebih ringan yang merupakan alternative lebih baik dari system ijon itu.
Demikianlah, masalah fluktasi harga hasil – hasil pertanian yang di sebabkan oleh adanya fluktasi musiman merupakan fenomena yang biasa dalam kehidupan ekonomi pertanian. Dalam bidang – bidang di luar pertanian ada pula jarak waktu(gap) antara saat – saat pengeluaran dan penerimaan, walaupun dalam bidang pertanian jarak waktu ini biasanya lebih panjang sehingga persoalan yang di timbulkannya menjadi gawat. Untuk mengatasi persoalan – persoalan demikian maka salah satu tujuan utama kebijaksanaan pertanian adalah mengusahakan stabilitasi harga dan pendapatan petani antara musim yang satu dengan musim yang lain dari tahun ke tahun. Fluktasi harga yang terlalu besar akan merupakan penghambat pembangunan pertanian. Harga dan pendapatan yang rendah mengurangi semangat petani untuk berproduksi dan sebaliknya harga dan pendapatan yang tinggi merangsang kaum tani. Kebijaksanaan harga beras yang di mulai pada tahun 1969 dengan menentukan harga tertinggi dan harga terendah adalah dalam rangka stabilitas harga dan pendapatan petani ini. Juga kebijaksanaan pemerintah pada sector Pertanian

  1. Pembiyaan Pertanian
Dengan titik tolak kenyataan adanya kemelaratan yang luas di kalangan petani, keterlibatan mereka pada hutang, baik hutang biasa maupun dengan system ijon, maka biasanya orang lalu menyimpulkan bahwa persoalan yang paling sulit dalam ekonomi pertanian adalah persoalan pembiayaan. Orang mengatakan bahwa petani tidak dapat meningkatkan produksinya karena kurang biaya. Petanni memerlukan kredit murah dari Bank Rakyat dan sebagainya.
Sudah dijelaskan bahwa jatuhnya petani ke dalam hutang melalui system ijon adalah karena tidak ada alternative kredit lebih bagi petani. Kalau dalam keadaan demikian Bank Desa dapat memberikan kredit kepada petani dengan bunga yang lebih rendah, maka petani sungguh – sungguh tetolong. Apabila demikian, keadaan petani dapat di selamatkan dari ancaman system ijoj. Tetapi dalam praktek masalahnya tidak sederhana sebagaimana di bayangkan.

  1. Tekanan Penduduk dan Pertanian
Contoh persoalan lain yang sifatnya lebih jelas lagi dalam ekonomi pertanian adalah persoalan yang menyangkut hubungan antara pembangunan pertanian dan jumlah penduduk.
Malthus dalam tahun 1888 menerbitkan buku yang terkenal mengenai persoalan – persoalan penduduk dan masalah pemenuhan kebutuhan manusia akan bahan makanan. Penduduk bertambah lebih cepat dari pada pertambahan produksi bahan makanan. Penduduk bertambah menurut deret ukur, sedangkan produksi bahan makanan hanyya bertambah menurut deret hitung. Walaupun demikian ternyata kemajuan tekhnologi mampu melipat gandakan produksi bahan makanan dan produksi pertanian umumnnya. Akan tetapi sampai sekarang Malthus tetap di akui sebagai bapak ilmu persoalan penduduk. Setiap pembicaraan soal penduduk selalu sampai pada “hokum Malthus”. Persoalan tekanan penduduk di Indonesia juga sudah lama menjadiobyek penelitian para ahli. Indonesia adalah Negara terbesar nomor 5 di dunia dengan jumlah penduduk 132 juta orang pada tahun 1975. selama bertahun – tahun Indonesia terpaksa mengimpor bahan makanan utama yaitu beras di samping bulgur dan tepung terigu. Dalam tahun 1975 Indonesia mengimpor beras seharga US 439,4 juta ( yaitu kurang lebih 10% dari nilai impor Indonesia secara keseluruhan).
Persoalan penduduk di Indonesia sebenarnya lebih kompleks dari pada itu. Tidak hanya penduduk sangat padat dan tingkat pertambahan tiap tahun yang tinggi, tapi juga pembagiannya antar daerah tidak seimbang. Komposisinya menunjukkan suatu penduduk yang muda dengan pemusatan penduduk di kotakota besar. Tingkat pertambahan penduduk tinggi, karena angka kelahiran tinggi, sedangkan angka kematian menurun. Menurunnya angka kematian disebabkan oleh kemajuan kesehatan dan sanitasi. Tingkat pertambahan penduduk untuk Indonesia adalah 2,1 %  antara tahun 1961 – 1971.
Di tinjau dari sudut ekonomi pertanian maka adanya persoalan penduduk dapat di lihat dari tanda – tanda berikut :
1.      persediaan tanah pertanian yang makin kecil.
2.      produksi bahan makanan perjiwa yang terus menurun
3.      bertambahnya pengangguran
4.      memburuknya hubungan-hubungan pemilik tanah dan bertambahnya hutang – hutang pertanian.

Dengan gejala – gejala tersebut maka tidaklah mungkin kita memastikan secara mudah kelebihan penduduk di Jawa hanya dengan menggunakan satu bukti statistic seperti persediaan tanah pertanian perjiwa. Dengan penelitian yang lebih mendalam maka akan terlihat bahwa pembagian penduduk di Pulau Jawa pun tidak seimbang. Di daerah tertentu seperti Yogyakarta dan bekas Karesidenan Kedu penduduk sangat padat tetapi di daerah – daerah lain penduduk tidak sepadat seperti di kedua daerah tersebut. Tedapat pertanian yang tersebar dan di daerah – daerah dekat kota dimana telah tersedia lebih banyak lapangan kerja. Daerah -  daerah yang miskin seperti Gunung Kidul, Wonogiri atau Purwodadi di jawa jumlah penduduknya relative jarang. Sementara itu, kalau hanya mengingat uas tanah pertanian yang tersedia perjiwa tanpa mengindahkan sumber – sumber penghidupan lain yang mungkin tersedia bagi petani, maka kesimpilan kelebihan penduduk dapat juga keliru.


  1. Pertanian Subsisten
Perkataan subsisten ini banyak sekali di pakai dalam berbagai karangan mengenai ekonomi pertanian sebagai terjemahan dari perkataan subsistence dari kata subsist yang berate hidup. Pertanian yang subsisten dengan demikian di srtikan sebagai sustu system bertani dimana tujuan utama dari si petani adalah untuk memenuhi keperluan hidupnya beserta keluarganya.
Namun dalam menggunakan definisi yang demikian sejak semula harus di ingat bahwa tidak ada petani subsistem yang begitu homegen, yang begitu sama sifat – sifatnya satu dari yang lain. Dalam kenyataannya petani subsisten ini sangat berbeda-beda dalam hal luas dan kesuburan tanah yang di milikinya dan dalam kondisi – kondisi social ekonomi lingkungan kehidupannya.
Apa yang sama di antara mereka adalah bahwa mereka memandang pertanian sebagai sarana pokok untuk memenuhi kebutuhan keluarga yaitu melalui hasil produksi pertanian itu.
Dengan definisi tersebut sama sekali tidak berarti bahwa petani subsisten tidak berpikir dalam pengertian itu, tetapi tidak dalam bentuk pengeluaran biaya tunai, melainkan dalam kerja, kesempatan beristirahat dan partisipasi dalam kegiatan – kegiatan upacara adat dan lain – lain.
Yang di anggap sebagai hasil penerimaan adalah apa yang dapat dinikmatinya secara pribadi dan bersama – sama masyarakat. Sedangkan biaya adalah apa yang tidak dinikmatinya.
Perhatian dan penelitian yang mendalam mengenai petani dan pertanian subsisten ini relative bulum lama, namun banyak ahli ekonomi, antropologi dan sosiologi yang menaruh perhatian sangat besar terhadap persoalan ini karena mereka berkeyakinan bahwa petani subsisten mempunyai cirri – cirri khas yang harus di perhatikan dalam kebijaksanaan pertaniaan.
Tanpa latar belakang pengetahuan teroritis mengenai cirri – cirri mereka, maka suatu tindakan kebijaksanaan unntuk membantu meningkatkan produktivitas tidak akan mengenai sasarannya. Itula sebabnya banyak ahli dari berbagai cabang pengetahuan social ekonomi pertanian dan pedesaan tekun mengadakan penellitian di berbagai negara dan hasil – hasilnya telah disebutkan di atas yaitu subsistence agriculture and economic Development.  

Popular posts from this blog

Makalah Sejarah ilmu Gizi

Penilaian Program Kesehatan

CONTOH PROPOSAL DIARE ( TELAH DI ACC )