LISTIA JALAN KAKAP UJUNG
LISTIA JALAN
KAKAP UJUNG
(Cerita ini Inspirasi dari salah satu Penulis Belatar ##)
“Terima kasih pak, udah ngijinin aku melakukan
riset di rumah sakit ini,” ujarku di hari pertama aku datang ke rumah sakit
ini.
“Iya sama-sama Dek Yan,” dokter Hen, namanya, lelaki setengah baya yang menjadi
kepala di rumah sakit ini, “kalau perlu bantuan bilang aja ke saya atau ke
staff di rumah sakit ini, dek
yan kok mau menulis di tempat seperti ini? Suara dokter Hen..”
“saya
hanya ingin menjauhkan diri dari seseorang dokter, yang sudah ku tukarkan
ingatanya padaku dengan nyawanya” aku sedikit bergurai untuk mencairkan
suasana, dan dokter Hen, pun ikut
menjawab Owhh.
*****************************************************************************
Aku adalah seorang penulis, dan riset kali ini
untuk bahan sekuel novelku yang ke dua, target tahun ini selesai karna aku
sudah ada konsep garis besarnya. Novel pertamaku terbilang cukup sukses, dan
sejak awal memang aku ingin membuat trilogi novel.
Aku bercerita panjang lebar dengan dokter Hen, ,
tentang awal mula aku merintis menjadi seorang penulis. Awal aku menulis pada
sebuah Blog dari situ
aku mendapat masukan dan dorongan dari para pembaca ceritaku untuk
mengembangkan tulisanku, dan kemudian memberanikan untuk mengajukan naskah ke
penerbit. Tapi sayang begitu aku mengajukan naskah ke penerbit, mereka
menolaknya karna naskahku itu telah tersebar di Blog dan juga telah di salin ke berbagai
blog.
Sempat berkecil hati, tapi ada seorang teman
menyarankanku untuk membuat sebuah karya baru yang jangan di pajang di Blog agar cerita itu gak kesebar
kemana-mana. Melalui perjalanan yang panjang dan berliku, akhirnya penerbit
menerima naskahku dan menerbitkannya.
Untuk sekuel novelku yang kedua ini, aku ingin
memasukan unsur kejiwaan di dalamnya. Makanya aku butuh riset disini, selain
meneliti pola pikir para pasien disini, aku juga bisa berkonsultasi kepada para
dokter disini sebagai referensi novelku.
Aku dari kecil memang sangat hobi menulis, sering
memajang hasil tulisanku di mading sekolah. Bahkan ada majalah yang membeli
naskahku dan dimasukan ke dalam rubit cerpen di majalah tersebut.
Dokter Hen,
orang yang sangat baik dan juga ramah menurutku, wibawa seorang kepala
rumah sakit terlihat jelas. Gak ada wajah bosan darinya saat mendengarkan
ceritaku, selalu senyum yang melengkung diantara kumis dan jenggotnya yang
memutih. Dia juga memberiku datapasien yang ada disini untuk tambahan
referensiku, dan aku juga diizinkan untuk tinggal di asrama yang ada di rumah
sakit ini, gak perlu repot-repot cari kos atau kontrakan jadinya.
Oke, sesi ngobrol-ngobrol dengan dokter Hen, cukup, karna dia orang yang sibuk. Aku
diantar oleh salah satu staf ke kamar yang masih kosong. Kamar berukuran 3x3
yang lebih dari cukup bagiku. Hanya ada sebuah tempat tidur, lemari kecil serta
kursi dan meja.
Setelah merapikan barang-barangku, aku langsung
membuka laptopku dan mulai mengecek halaman sosial media pribadiku. Oke saatnya
memberi spoiler kepada para penggemar untuk sekuel kedua novelku.
Sosial media salah satu alat untuk berinteraksi
dengan para pembaca novelku, bahkan ada beberapa pembaca yang memintaku untuk
kembali menulis di Blog. Ya suatu saat pasti aku akan kembali, setelah trilogi
novelku selesai, itu yang aku janjikan pada mereka.
Setelah puas bersosial media, aku coba membaca
artikel-artikel yang di copy-kan oleh dokter Hen, di flashdisk-ku. Artikel tentang kejiwaan,
kata doker Hen artikel ini adalah dasar ilmu kejiwaan, jadi gak akan berat
untukku mempelajarinya.
Dari artikel tersebut aku coba sinkronisasikan
dengan data pasien, dalam data tersebut selain terdapat data diri pasien, juga
terdapat riwayat kesehatan jiwa pasien dari pertama masuk rumah sakit ini
sampai sekarang. Gangguan kejiwaan seperti apa saja yang pasien alami serta
penanganannya ada di dalam data ini. Benar-benar sangat membantu.
Aku semakin tertarik dengan data-data yang
diberikan dokter Hen, , sampai-sampai aku gak ingin melepaskan pandangan mata
dari layar laptopku. Saat bosan dengan suasana kamar, aku coba cari tempat yang
nyaman di area rumah sakit ini. Sambil sesekali memperhatikan para pasien dan
juga staff yang sedang asik berinteraksi disini.
Rumah sakit ini berbentuk leter U, bangunan kiri
tempat para pasien pria, kanan pasien wanita dan tengah tempat para dokter dan
staff. Di tengahnya terdapat area yang cukup luas, diisi oleh taman, lapangan
badminton, tenis meja, futsal, voli dan arena bermain.
Ah memang tempat yang nyaman untuk melakukan
riset, selain udaranya yang sangat sejuk dan dingin, kepalaku jadi mampu
berfikir jernih. Bahkan gak sadar kalau waktu udah menunjukan pukul 12 malam,
dan aku masih setia membaca materi yang diberikan dokter Hen, . Hhmmm sudah 12
jam lebih ternyata aku di depan laptop dan berpindah-pindah posisi, mulai dari
kamarku, taman, pinggir lapangan voli sampai saat ini aku berada di balkon
rumah sakit.
*Pagi Hari
Benar-benar tempat yang nyaman, rasanya rugi
kalau tempat senyaman ini aku sia-siakan waktunya hanya untuk tidur. Aku mulai
berkeliling, memperhatikan tingkah lucu para paisen, ada yang berbicara
sendiri, ada yang saling berbicara tapi sama sekali gak nyambung apa yang
mereka bicarakan tapi tetep mereka asik sekali kayaknya. Ada juga yang sedang
menari-nari gak jelas, dan sampai di suatu sudut taman, ada seorang pasien
wanita yang sedang Berlatih
berjalan ibarat model. Dia terlihat sangat serius, dia terlihat normal
menurutku.
“Kamu
lagi apa ?” aku coba berinteraksi,
“Lagi latihan karena besok aku Final Kontes Dara Aceh,”. Aku liat
tulisan di dadanya yang menunjukan nomor pasien dan nama pasien ’69-Listia’
Aku duduk di sampingnya, lalu membuka laptop yang
dari tadi aku tenteng. Aku cari datanya di dalam database pasien. Dia masuk
rumah sakit ini lima tahun
yang lalu, menderita gangguan jiwa karna keinginannya yang ingin menjuarai Kontes Dara Aceh. ,
wanita yang menurutku sangat cantik walau tanpa make up dan rambut yang gak
keurus ini, harus mengalami gangguan pada kejiwaannya dan berada di rumah sakit
ini. semenjak saat itu hari –
hariku di temani oleh listia.
*Seminggu kemudian
“Apa Kabrmu Dek,” Bang Hendri menyapaku, abang leki - lakiku yang paling aku
sayangi kini berada di ruangan dokter Hen, .
Dokter Hen,
memanggilku kalau ada yang ingin bertemu dan sedang menunggu di ruangannya.
Dan ternyata abangku.
“Sejak kapan abang disini ?” aku duduk disampingnya seraya meletakan laptopku
di meja dokter Hen, .
“Baru aja dek.”
Aku mulai bercerita tentang progres sekuel
novelku yang kedua, lalu hasil risetku selama satu minggu ini. Dia
mendengarkanku dengan seksama, sesekali memberi senyuman khasnya. Aku juga
bercerita tentang Listia, tentang bagaimana Listia perlahan mulai mengalami
kemajuan kondisi kejiwaannya.
“Dek,”
Bang Hendri
mendekatiku, matanya terlihat nanar dan seketika itu dia memelukku, “lepasin
semuanya dek, lepasin
!”
“Apasih maksudmu bang ?”
“Lepasin semua hayalanmu, kembalilah dek. Papah, Mamah dan
juga aku kangen sama kamu,
pulang dek. Kami semua
pengen Adek pulang dan
berkumpul lagi.”
“Aku gak ngerti sama yang kamu omongin Bang ?”
“Adek
udah lima tahun disini,
dan Adek terus menerus
mengulangi hayalan Adek.“Dokter
?” aku menatap dokter Hen, yang dari
tadi hanya diam saja.
Dengan wajah yang tenang dan juga sayu dia mulai
berucap, “kamu adalah pasien kami, semua yang kamu alami adalah halusinasi dan
terus menerus berulang-ulang.”
perlahan aku berjalan menghampiri Listia, aku
tersenyum menuju dirinya.
Wajah Listia nampak tenang, dia menyembunyikan
kedua tangannya di belakang, pasti novel yang waktu itu aku pinjamkan ada di
tangannya. Aku mengulurkan tanganku, coba meraihnya.
“Yang kamu cintai hanyalah angan-angan semu,” Listia
berucap, saat tanganku coba meraihnya namun. Menembus. Aku gak mampu meraihnya,
dan tubuhnya memudar semakin tipis dan menghilang.
“Listia !” aku bersesis.
“Lepasin Listia dari pikiranmu” abangku menyahut dari belakang, “dia udah bahagia nikah dengan
orang lain dan melupakan kamu..”
“Enggak,” aku memberontak, berbalik dan menatap abangku dengan bengis, “Listia
tuh pasien disini, dia gila karna gak bisa menjuarai kontes Dara Aceh.
“Gak ada pasien yang namanya Listia,” Dokter
Hen, menyahut, “dia hanya hayalanmu aja,
karna kamu gak mampu memilikinya.
“Itu,” aku menunjuk ke arah laptopku di meja
dokter Hen, , “di dalam laptopku ada foto aku dan listia di rumah sakit ini.”
“Itu laptop udah rusak sejak lima tahun yang lalu
dek,” bang hendri coba memberi tahu.
“BOHONG, KALIAN SEMUA GILA,” aku berteriak
kencang, tanganku mengepal kencang lalu dengan emosi aku menendang benda apa
saja yang ada di hadapanku. Tinjuku mulai melayang, kini coba menuju dokter
Hen, dan juga abangku.
Tapi sebelum tinjuku mendarat ada orang-orang
yang menahanku dari belakang. Aku coba berontak, tapi tenaga orang-orang yang
menahanku sangat kuat, hingga aku merasakan nyeri di tanganku.
“Dek,”
Bang Hendri mendekat
lalu menunjukan layar hapenya yang menunjukan sebuah foto wanita setengah baya
sedang berbaring lemah di ranjang, “Mamah sakit-sakitan karna mikirin adek terus. adek emang tega biarin Mamah seperti ini
terus. Seluruh badanku lemas, pandanganku perlahan memburam dan kabur. Semakin
lama pandanganku semakin meredup dan akhirnya gelap sampai aku gak tau apa yang
terjadi selanjutnya.
5 Tahun yang lalu………….
Dengan tubuh yang basah kuyup karna hujan yang terus mengalir tanpa henti, aku tersenyum, memandang wajah kesalnya karna listrik tiba-tiba padam.
Dengan tubuh yang basah kuyup karna hujan yang terus mengalir tanpa henti, aku tersenyum, memandang wajah kesalnya karna listrik tiba-tiba padam.
Seorang
wanita menghampirinnya,
membungkukkan tubuhnya, meminta maaf atas ketidak nyamanan yang semewah ini.
Cut Listia Deviana namanya, wanita yang
masih murung, wanita yang hanya dalam hitungan bulan mampu merubah 180 derajat
kehidupannya. Listia
yang saat ini ku lihat bukanlah Listia
sebelum 7 Bulan
yang lalu. Tapi tidak ada yang berubah di dalam hatiku, dia tetaplah Listina yang selalu memiliki
tahta di hatiku, meski sepertinya dia telah lupa dengan kedudukannya di hatiku.
Dingin
semakin menusuk tulangku, genggaman tanganku pada sebuah daun pisang mulai gemetar.
Daun pisang, satu-satunya saksi bisu diantara kami saat mengarungi malam
terindah untukku, dan mungkin untuknya pula saat itu, entah saat ini dia masih
mengenangnya atau tidak.
Saat aku
memandang daun pisang dalam genggamanku, tiba-tiba saja hawa dingin yang aku
rasakan hilang. Berganti dengan hangat yang pekat, sangat hangat, begitu
lembut. Mataku terpejam merasakan kehangatan yang begitu lembut ini.
“Iyan sayaaaaaaaaang,” entah
darimana datangnya, Listia begitulah aku memanggilnya, sudah mendekap tubuhku
erat dari belakang. Suaranya sangat riang, lebih riang dari biasanya.
“Seneng
banget kayaknya sih,” aku meraih kedua tangannya, membalik tubuhku lalu
membelai lembut rambutnya yang meriap-riap.
“Aku Masuk Finalnis Kontes Dara Aceh,”
dengan cepat Listia
mengambil sebuah kertas tebal bergambar logo Kebudayaan Aceh ‘FINALIS’.
Aku
merangkulnya seraya berkata dengan senyuman “selamat ya sayang.”
“Pokoknya
kamu harus dukung aku, Doa
yang banyak, suruh temen-temen kamu juga Doakan dan dukungannya buat aku. Pokoknya
aku harus meraih impianku Iyan,
harus...haruss....haruss,” huh kebiasaan Listia kalau sudah begini, dengan semangatnya dia nyerocos tanpa
henti.
“Apa sih
yang engTidak buat permaisuriku yang cantiknya kelewatan ini,” aku mencubit
pipinya gemas sangat gemas hingga dia meringis kesakitan dan menampakan wajah
kesal kepadaku. Sigap aku langsung mengusap-ngusap bekas cubitanku.
“Eh
sayang, tapi aku nanti dikarantina, bisa Keluarnya cuma sebulan sekali kalau tidak salah. Tidak apa-apa
kan sayang ?”
Walau ada
rasa miris, tapi aku coba mengerti, “iya Tidak apa-apa kok.”
“Awas loh
cari pacar lagi !” nadanya langsung berubah menyeramkan, dasar wanita.
Hari terus berlalu, wajahnya selalu berseri-seri, selain
karna harus menampakan wajah yang menarik, Listia berseri
juga karna senang perolehan Pujian
dari Dewan juri. Ah…
apa sih yang enggak buat Listia, walaup aku seorang Penulis tapi
aku rela menghabiskan lebih dari setengah hasil Penjualan Novelku hanya untuk menyewa Bus untuk Mendukungnya.
Semua itu demi kamu Listia, ya demi Listia seorang, wanita yang paling
kucinta di jagat ini. Yah, walau ada rindu disini yang berada di sisi yang
redup dan sepi yang
selalu mengintai dari balik dinding kamar siap mencengkram rindu ini.
Hari ini Listia diberi kesempatan untuk
kembali ke rumahnya oleh Panitia
Kontes Dara Aceh. Dan kini kami manfaatkan waktu yang ada untuk
melepaskan rindu. Aku merebahkan
tubuhku di hamparan padang ilalang yang tingginya melebihi tinggiku. Listia
mengikuti, menghempaskan tubuhnya menindihku dengan manjanya, hingga membuat
aku sedikit tersentak.
“Briiiiiieeeee !” suara petir
mengagetkan kami, awan semakin pekat, hembusan angin semakin kencang. Kami
berdua memutuskan untuk pulang ke rumah, berlari seolah kejar-kejaran dengan
waktu jatuhnya air dari langit.
Tapi baru
sampai kami pada sebuah kebun pisang, hujan turun dengan lebatnya, Tidak pakek gerimis terlebih dahulu.
Langsung memuntahkan air dengan jumlah yang besar ke bumi.
Ada
sebuah Parang yang
tertancap di pohon pisang, langsung aku ambil, dan memotong selembar daun
pisang yang panjang dan lebar, tapi kurang cukup untuk melindungi tubuh kami
dari air hujan. Aku sedikit kesulitan memotong daun pisang, karna terhalang
buah pisang yang sudah tumbuh banyak, apalagi aku Tidak begitu pandai menggunakan
Parang di kehidupanya
keseharian belatar pekerjaan penulis aku di bisakan memegang Laptop dan Polpen.
Dengan asal-asalan, aku pukul-pukul golok ke buah pisang itu, hingga terpental
kesana-kemari. Tubuh dari buah pisang itu ada yang hancur tak berbentuk
rupanya. Sampai aku tak terhalang lagi dan mampu memotong daun pisang.
Kondisi
jalan yang mulai becek dengan tanah yang telah cair, serta Listia yang semakin
kedinginan. Membuat kami memelankan langkah kami, aku dekap tubuh Listia yang
semakin lama gigilan tubuhnya semakin kencang. Beberapa bagian tubuh kami
terkena air hujan walaupun Tidak seluruhnya.
“Romantis
ya, hehehehe,” nada Listia yang khas seakan mengalahkan gemericik air hujan,
walau diiringi dengan kletukan giginya yang beradu dengan cepat.
“Kamu
suka ?” hhhmmm aroma wangi rambutnya semakin lekat menempel dipenciumanku,
rambut yang sedikit basah terkena air hujan.
Listia mengangguk, menutup matanya sambil
menampakan senyum berpipi lesungnya itu. Rasa dingin yang dihasilkan oleh hujan ini sudah engTidak ada
artinya lagi buatku. Masih terlalu kecil daripada kehangatan yang selalu dan
selalu Listia berikan. Aku mempererat dekapanku, sambil mengecup rambut
indahnya yang terjuntai lurus sampai pinggang, aku berkata, “aku mencintaimu,
seperti apapun kamu nanti.”
“Yann !” Listia menggenggam kedua tanganku lalu menempelkan
mulutnya, menghembuskan nafas lembut, “saat aku tua nanti, dan saat volume
otakku semakin menyusut dari waktu ke waktu. Aku tetap mengenang segala bentuk
keindahanmu, karna kamu tidak
hanya ada di otakku, tapi kamu selalu ada disini, “dia menuntun tanganku
menyentuh dadanya, “di hati yang Tidak pernah menyusut walau termakan sang
waktu.”
Sementara
langit menghujan, kami selalu berbagi senyum yang pastinya akan selalu aku
kenang. Yaaa, aku akan terus menerus mencoretkan kenangan ini di hatiku, Tidak
perlu takut kehabisan tinta, karna air hujan yang dicampur dengan tanah dapat
aku gunakan sebagai tinta tambahan.
Semakin
lama, Tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti, bahkan semakin lebat mengguyur
tubuh kami. Daun pisang sebagai satu-satu pelindung kami, sudah tak mampu lagi
menahan derasnya air yang turun, kami sudah benar-benar basah kali ini. Tapi
kami tetap berjalan, terus berjalan hingga kami sampai pada rumah Listia.
“Hei Yan, masih aja payungan pake
daun pisang,” ah aku baru sadar kami sudah berada di dalam rumah Listia. Kami
tertawa geli, sampai-sampai Listia memegang perutnya. Aku langsung letakan daun
pisang di samping kursi, sepertinya aku Tidak ada niat buat membuang daun pisang
ini.
Listia
pergi sebentar menuju sebuah ruangan, tak lama dia datang dan sudah berganti
pakaian. Dia juga membawa satu set pakaian pria lalu memberikannya padaku,
“pake aja punya kakakku !”
“Iya,”
aku menggigil, pergi ke kamar mandi untuk mengganti pakaian.
Saat aku
kembali ke ruang depan, sudah ada dua cangkir teh hangat dan biskuit di meja.
Listia tersenyum menyambutku datang lalu memberi isyarat dengan tangannya agar
aku duduk di sampingnya.
“Buat apa
sih kamu bikinin aku teh anget ?” aku sedikit ketus.
“Biar
anget, kan kita abis ke hujanan,” Listia sedikit sewot, memajukan bibirnya yang
menggemaskan, “Tidak pake Urat
juga kali nanyanya... huh.”
“Lah
gimana Tidak pakek urat coba, aku tuh Tidak butuh teh ataupun apalah-apalah
untuk sekedar menghangatkanku. Aku cuma butuh kamu,” aku tersenyum lebar, lalu
memeluk tubuhnya erat-erat, menekan hidungnya yang memerah karna kedinginan.
“Iiiih
apaan sih, Tidak jelas banget gombalannya,” Listia coba menjauhkan tubuhku,
tapi sepertinya Tidak niat deh karna dorongan tangannya terasa sangat lemah,
atau rasa cintaku yang terlalu kuat padanya hingga dia Tidak mampu melepaskan
jerat benang-benang kasihku ini.
Dalam
sekian detik waktu berhenti, terjadi keheningan diantara gemerincik air hujan
di luar sana. Terjadi kebisuan diantara dentingan jam dinding yang berdetak.
Terjadi suatu moment dimana hanya desiran-desiran nafas yang penuh dengan cinta
berbaur menjadi satu, menyampaikan lantunan-lantunan kasih dari jantung yang
memainkan irama keindahan.
Dan saat
inilah, pintu-pintu hasrat terbuka, cinta berubah jadi magnet yang saling
mendekatkan dua tubuh yang sedang terbuai oleh cinta. Hingga mampu menyeret
bibir kami berdua untuk saling bertemu.
*******
Dukung
aku ya menang di final minggu depan !” kami berpelukan saat aku mengantarnya ke
terminal. “Pasti, semangat ya, kamu harus menang !”
Listia
melepas peluknya, berjalan mundur menuju bus yang telah menunggunya, sambil
terus berkata, “semangat semangat harus juara juara,” begitulah dengan gestur
yang melenggang dan wajah yang ceria.
“HUTAMMMMMMMMMM,” sebuah mobil Labi – labi angkutan umum tiba-tiba menghantam Listia, dia
terpental hingga beberapa meter, darah segar langsung mengucur dan membasahi
wajah serta kepalanya.
“LISTIAAAAAAAA
!”
Aku
berlari menuju Listia yang tergeletak di atas aspal, orang-orang langsung
berkerumun. Aku histeris menggoyang-goyangkan tubuhnya.
“Tolooonngggg,
siapa aja tolonngggg.”
Aku
beserta orang-orang yang menolongnya langsung membawanya ke rumah sakit
terdekat, aku terus membersihkan darah Listia yang masih mengalir. Pikiranku
kacau, suasana berubah seketika.
Saat di
rumah sakit, Listia langsung dilarikan ke ruang UGD, aku menunggu dengan
perasaan gusar di depan ruangan. Air mataku terus bercucuran, aku bersimpuh
diantara tembok rumah sakit, gak peduli lagi dengan pandangan orang-orang yang
iba terhadapku.
Bodoh...bodoh...bodoh,
seharusnya aku menjaga Listia sampai ke tujuan, seharusnya aku
aaaaaaakkkkkkhhhh. Aku benar-benar kacau, aku menghantam-hantamkan tinjuku pada
lantai rumah sakit. Gak ada rasa sakit meskipun kepalan tanganku mulai
mengeluarkan darah segar.
“Siapa
saja, gak peduli malaikat atau iblis, silahkan menukar kehidupan Listia dengan
nyawaku. Dia masih mempunyai impian yang belum terwujud, dia harus menggapai
mimpinya. Silahkan ambil nyawaku ! atau jika nyawaku ini terlalu murah untuk
ditukar oleh keselamatan Listia, silahkan hapus ingatan Listia tentang diriku,
aku rela dia melupakanku untuk ditukar dengan keselamatannya. AKU RELAAAAAAA !”
“Baiklah.”
Entah
darimana datangnya suara yang menggema di otakku, suara yang berat dan juga
dalam. Saat itu juga tiba-tiba pandanganku memburam, semakin buram hingga aku
tak dapat melihat apapun, dan saat itu pula aku sudah tak tau apa yang terjadi
lagi.
*********
The
winner is-“ si pembawa acara menahan ucapannya, membuat seluruh kedua finalis
berdegup kencang, bahkan penonton yang ada di studio pun hening menanti
lanjutan dari ucapan si pembawa acara, termasuk diriku yang kini sedang
mencengkram guling erat-erat menatap layar kaca TVRI Aceh. “LISTIANAAAAAAA !”
“Hyaaaaaaaaa,”
seluruh penonton bersorak, Listia menuntup kedua matanya, dia tersenyum
sekaligus menangis. Aku langsung berjingkrang kegirangan, melompat kesana
kemari. Dan akupun ikut meneteskan air mata bahagia. Listia menang, dia
mewujudkan impiannya.
Yeah
Listia memenangkan Kontes Dara
Aceh, dan dihadiahi oleh uang yang jumlahnya lumayan besar dan juga Kontrak Sebagai Model Beberapa
Majalah ternama. Kini kehidupan Listia berubah 180 derajat, dia kini
menjadi seorang model yang terkenal di seluruh penjuru negeri.
Lampu
toko sudah menyala sedari tadi, Listia masih asik memilih berbagai macam
pakaian mewah. Tiga jam sudah aku memandangnya dari luar toko, hujan masih
turun dengan lebatnya seolah ada lautan di langit sana yang gak pernah habis memuntahkan
airnya.
Setelah
mendapatkan beberapa pakaian, Listia sepertinya sudah puas berbelanja dan
membayarkan ke meja kasir. Setelah itu dia berjalan keluar toko lalu
menepuk-nepuk tangannya, memanggil supir pribadinya yang sedang berada di dalam
mobil tak jauh dari toko, hanya berjarak beberapa meter saja, meminta untuk di
jemput karna di luar ini masih hujan.
Tapi
nampaknya sang sopir tertidur dan tak mengetahui Listia memanggilnya. Aku
berjalan menuju Listia, aku berusaha menenangkan diriku meski jantungku
berdegup sangat kencang. Aku payungkan Listia dengan selembar daun pisang yang
ku bawa.
“Sepertinya
supirmu terlalu asik tidur deh,” Listia terlihat bingung melihat aku yang
tiba-tiba memayungkan dia.
“Ma-makasih,”
dan kamipun berjalan menuju mobil Listia yang terparkir tak jauh dari toko.
Listia
mengetuk pintu mobil, sang supir terkaget seketika. Lalu Listia membuka pintu
mobil kemudian memasukinya. Beberapa detik kemudian kaca mobil terbuka, lalu
Listia menyodorkan selembar uang seratus ribu kepadaku.
“Gak usah
nona,” aku tersenyum seraya menggeleng.
“Tapi aku
ikhlas.”
“Aku juga
ikhlas kok melakukan hal kecil seperti ini,” yeah sangat ikhlas Listia, andai
kamu tau ada hal besar yang telah aku lakukan untukmu, tapi.....
Listia
masih memandangku penuh keheranan, menarik kembali uang yang tadi ingin dia
berikan, “Siapa kamu ? kamu seperti gak asing buat aku.”
Aku
tersenyum getir, hatiku terasa teraduk-aduk oleh berbagai macam perasaan, “aku
bukan siapa-siapa kok.”
“Kamu
dari tadi memperhatikan aku kan dari luar, gak tau kenapa perasaanku sangat
sesak melihat kamu menatapku seperti ini,” dahi Listia mengkerut, menyiratkan
berbagai macam pertanyaan.
Aku
menggeleng lalu melangkah mundur, menjauhi Listia yang masih memandangku dengan
penuh tanya. Tubuhku gemetar bukan karna dinginnya hujan, tapi karna perasaanku
yang tak dapat aku kendalikan. “Aku
hanya seorang pria yang akan selalu mengingatmu.”
Tiba – tiba dari belakang sebuah
Minibus datang “HUTAMMMMMMMMMM,” Kepalaku terpental bersama
Tas yang berisi Laptop dan matakupun tertutup.
******************
*Masa kini
Mataku terbuka, samar-samar dapat aku lihat wajah
bang Hendri dan dokter Hen yang berada di
sebelahku.“Kamu udah sadar Iyan
?”
“Bang.” “Aku mau pulang,” kataku
lemah, aku sadar dengan semua ini, “aku mau ketemua Mamah dan Papah”
“Dek,”
bang Hendri langsung
memelukku erat, tangisnya pecah dalam pelukannya.
“Siapa kamu ?” tanya dokter Hen.
“Iyan,” aku menjawab.
“kenapa
kamu di sini ?”
“Aku
mungkin mengalami gangguan jiwa
Bang
Hendri melepas pelukannya, membasuk air matanya. Dokter hen dan Bang Hendri saling menatap dan
tersenyum, “jadi adeku
boleh pulang dok ?”
“Kita liat perkembangannya seminggu kedepan.”
*Seminggu kemudian
Sejuknya udara pagi Jalan kakap ujung serta secangkir teh
manis hangat membuatku sangat tenang kali ini. Sambil menatap segala macam
aktifitas para pasien serta staf rumah sakit, aku tersenyum.
“Gimana dek Kopinya ?” bang
Hendri duduk disebelahku sambil menaruh sepiring biskuit.
“Oh iya bang ada kabar gembira loh,” bang hendri menatapku senang,
“Listia pasien jiwa di sini
Sudah sembuh dari penyakit jiwanya dan kami ingin menikah setelah Novel keduaku
tentang kejiwaan siap “Iyan,” Bang Hendi memelukku, air matanya
mengalir dan menatapku nanar, dia bergeleng-geleng dengan isak tangis yang
menusuk.