LISTIA JALAN KAKAP UJUNG


LISTIA  JALAN KAKAP UJUNG
(Cerita ini Inspirasi dari salah satu Penulis Belatar ##)

“Terima kasih pak, udah ngijinin aku melakukan riset di rumah sakit ini,” ujarku di hari pertama aku datang ke rumah sakit ini.
“Iya sama-sama Dek Yan,” dokter Hen,  namanya, lelaki setengah baya yang menjadi kepala di rumah sakit ini, “kalau perlu bantuan bilang aja ke saya atau ke staff di rumah sakit ini, dek yan kok mau menulis di tempat seperti ini? Suara dokter Hen..”
saya hanya ingin menjauhkan diri dari seseorang dokter, yang sudah ku tukarkan ingatanya padaku dengan nyawanya” aku sedikit bergurai untuk mencairkan suasana, dan dokter Hen,  pun ikut menjawab Owhh.
*****************************************************************************
Aku adalah seorang penulis, dan riset kali ini untuk bahan sekuel novelku yang ke dua, target tahun ini selesai karna aku sudah ada konsep garis besarnya. Novel pertamaku terbilang cukup sukses, dan sejak awal memang aku ingin membuat trilogi novel.
Aku bercerita panjang lebar dengan dokter Hen, , tentang awal mula aku merintis menjadi seorang penulis. Awal aku menulis pada sebuah Blog dari situ aku mendapat masukan dan dorongan dari para pembaca ceritaku untuk mengembangkan tulisanku, dan kemudian memberanikan untuk mengajukan naskah ke penerbit. Tapi sayang begitu aku mengajukan naskah ke penerbit, mereka menolaknya karna naskahku itu telah tersebar di Blog dan juga telah di salin ke berbagai blog.
Sempat berkecil hati, tapi ada seorang teman menyarankanku untuk membuat sebuah karya baru yang jangan di pajang di Blog agar cerita itu gak kesebar kemana-mana. Melalui perjalanan yang panjang dan berliku, akhirnya penerbit menerima naskahku dan menerbitkannya.
Untuk sekuel novelku yang kedua ini, aku ingin memasukan unsur kejiwaan di dalamnya. Makanya aku butuh riset disini, selain meneliti pola pikir para pasien disini, aku juga bisa berkonsultasi kepada para dokter disini sebagai referensi novelku.
Aku dari kecil memang sangat hobi menulis, sering memajang hasil tulisanku di mading sekolah. Bahkan ada majalah yang membeli naskahku dan dimasukan ke dalam rubit cerpen di majalah tersebut.
Dokter Hen,  orang yang sangat baik dan juga ramah menurutku, wibawa seorang kepala rumah sakit terlihat jelas. Gak ada wajah bosan darinya saat mendengarkan ceritaku, selalu senyum yang melengkung diantara kumis dan jenggotnya yang memutih. Dia juga memberiku datapasien yang ada disini untuk tambahan referensiku, dan aku juga diizinkan untuk tinggal di asrama yang ada di rumah sakit ini, gak perlu repot-repot cari kos atau kontrakan jadinya.
Oke, sesi ngobrol-ngobrol dengan dokter Hen,  cukup, karna dia orang yang sibuk. Aku diantar oleh salah satu staf ke kamar yang masih kosong. Kamar berukuran 3x3 yang lebih dari cukup bagiku. Hanya ada sebuah tempat tidur, lemari kecil serta kursi dan meja.
Setelah merapikan barang-barangku, aku langsung membuka laptopku dan mulai mengecek halaman sosial media pribadiku. Oke saatnya memberi spoiler kepada para penggemar untuk sekuel kedua novelku.
Sosial media salah satu alat untuk berinteraksi dengan para pembaca novelku, bahkan ada beberapa pembaca yang memintaku untuk kembali menulis di Blog. Ya suatu saat pasti aku akan kembali, setelah trilogi novelku selesai, itu yang aku janjikan pada mereka.
Setelah puas bersosial media, aku coba membaca artikel-artikel yang di copy-kan oleh dokter Hen,  di flashdisk-ku. Artikel tentang kejiwaan, kata doker Hen artikel ini adalah dasar ilmu kejiwaan, jadi gak akan berat untukku mempelajarinya. 
Dari artikel tersebut aku coba sinkronisasikan dengan data pasien, dalam data tersebut selain terdapat data diri pasien, juga terdapat riwayat kesehatan jiwa pasien dari pertama masuk rumah sakit ini sampai sekarang. Gangguan kejiwaan seperti apa saja yang pasien alami serta penanganannya ada di dalam data ini. Benar-benar sangat membantu.
Aku semakin tertarik dengan data-data yang diberikan dokter Hen, , sampai-sampai aku gak ingin melepaskan pandangan mata dari layar laptopku. Saat bosan dengan suasana kamar, aku coba cari tempat yang nyaman di area rumah sakit ini. Sambil sesekali memperhatikan para pasien dan juga staff yang sedang asik berinteraksi disini.
Rumah sakit ini berbentuk leter U, bangunan kiri tempat para pasien pria, kanan pasien wanita dan tengah tempat para dokter dan staff. Di tengahnya terdapat area yang cukup luas, diisi oleh taman, lapangan badminton, tenis meja, futsal, voli dan arena bermain.
Ah memang tempat yang nyaman untuk melakukan riset, selain udaranya yang sangat sejuk dan dingin, kepalaku jadi mampu berfikir jernih. Bahkan gak sadar kalau waktu udah menunjukan pukul 12 malam, dan aku masih setia membaca materi yang diberikan dokter Hen, . Hhmmm sudah 12 jam lebih ternyata aku di depan laptop dan berpindah-pindah posisi, mulai dari kamarku, taman, pinggir lapangan voli sampai saat ini aku berada di balkon rumah sakit.
*Pagi Hari
Benar-benar tempat yang nyaman, rasanya rugi kalau tempat senyaman ini aku sia-siakan waktunya hanya untuk tidur. Aku mulai berkeliling, memperhatikan tingkah lucu para paisen, ada yang berbicara sendiri, ada yang saling berbicara tapi sama sekali gak nyambung apa yang mereka bicarakan tapi tetep mereka asik sekali kayaknya. Ada juga yang sedang menari-nari gak jelas, dan sampai di suatu sudut taman, ada seorang pasien wanita yang sedang Berlatih berjalan ibarat model. Dia terlihat sangat serius, dia terlihat normal menurutku.
Kamu lagi apa ?” aku coba berinteraksi,
“Lagi latihan karena besok aku Final Kontes Dara Aceh,”. Aku liat tulisan di dadanya yang menunjukan nomor pasien dan nama pasien ’69-Listia’
Aku duduk di sampingnya, lalu membuka laptop yang dari tadi aku tenteng. Aku cari datanya di dalam database pasien. Dia masuk rumah sakit ini lima tahun yang lalu, menderita gangguan jiwa karna keinginannya yang ingin menjuarai Kontes Dara Aceh. , wanita yang menurutku sangat cantik walau tanpa make up dan rambut yang gak keurus ini, harus mengalami gangguan pada kejiwaannya dan berada di rumah sakit ini. semenjak saat itu hari – hariku di temani oleh listia.


*Seminggu kemudian
“Apa Kabrmu Dek,” Bang Hendri menyapaku, abang leki - lakiku yang paling aku sayangi kini berada di ruangan dokter Hen, .
Dokter Hen,  memanggilku kalau ada yang ingin bertemu dan sedang menunggu di ruangannya. Dan ternyata abangku.
“Sejak kapan abang disini ?” aku duduk disampingnya seraya meletakan laptopku di meja dokter Hen, .
“Baru aja dek.”
Aku mulai bercerita tentang progres sekuel novelku yang kedua, lalu hasil risetku selama satu minggu ini. Dia mendengarkanku dengan seksama, sesekali memberi senyuman khasnya. Aku juga bercerita tentang Listia, tentang bagaimana Listia perlahan mulai mengalami kemajuan kondisi kejiwaannya.
Dek,” Bang Hendri mendekatiku, matanya terlihat nanar dan seketika itu dia memelukku, “lepasin semuanya dek, lepasin !”
“Apasih maksudmu bang ?”
“Lepasin semua hayalanmu, kembalilah dek. Papah, Mamah dan juga aku kangen sama kamu, pulang dek. Kami semua pengen Adek pulang dan berkumpul lagi.”
“Aku gak ngerti sama yang kamu omongin Bang ?”
Adek udah lima tahun disini, dan Adek terus menerus mengulangi hayalan Adek.“Dokter ?” aku menatap dokter Hen,  yang dari tadi hanya diam saja.
Dengan wajah yang tenang dan juga sayu dia mulai berucap, “kamu adalah pasien kami, semua yang kamu alami adalah halusinasi dan terus menerus berulang-ulang.”
perlahan aku berjalan menghampiri Listia, aku tersenyum menuju dirinya.
Wajah Listia nampak tenang, dia menyembunyikan kedua tangannya di belakang, pasti novel yang waktu itu aku pinjamkan ada di tangannya. Aku mengulurkan tanganku, coba meraihnya.
“Yang kamu cintai hanyalah angan-angan semu,” Listia berucap, saat tanganku coba meraihnya namun. Menembus. Aku gak mampu meraihnya, dan tubuhnya memudar semakin tipis dan menghilang.
“Listia !” aku bersesis.
“Lepasin Listia dari pikiranmuabangku menyahut dari belakang, “dia udah bahagia nikah dengan orang lain dan melupakan kamu..”
“Enggak,” aku memberontak, berbalik dan menatap abangku dengan bengis, “Listia tuh pasien disini, dia gila karna gak bisa menjuarai kontes Dara Aceh.
“Gak ada pasien yang namanya Listia,” Dokter Hen,  menyahut, “dia hanya hayalanmu aja, karna kamu gak mampu memilikinya.
“Itu,” aku menunjuk ke arah laptopku di meja dokter Hen, , “di dalam laptopku ada foto aku dan listia di rumah sakit ini.”
“Itu laptop udah rusak sejak lima tahun yang lalu dek,” bang hendri coba memberi tahu.
“BOHONG, KALIAN SEMUA GILA,” aku berteriak kencang, tanganku mengepal kencang lalu dengan emosi aku menendang benda apa saja yang ada di hadapanku. Tinjuku mulai melayang, kini coba menuju dokter Hen,  dan juga abangku.
Tapi sebelum tinjuku mendarat ada orang-orang yang menahanku dari belakang. Aku coba berontak, tapi tenaga orang-orang yang menahanku sangat kuat, hingga aku merasakan nyeri di tanganku.
Dek,” Bang Hendri mendekat lalu menunjukan layar hapenya yang menunjukan sebuah foto wanita setengah baya sedang berbaring lemah di ranjang, “Mamah sakit-sakitan karna mikirin adek terus. adek emang tega biarin Mamah seperti ini terus. Seluruh badanku lemas, pandanganku perlahan memburam dan kabur. Semakin lama pandanganku semakin meredup dan akhirnya gelap sampai aku gak tau apa yang terjadi selanjutnya.
5 Tahun yang lalu………….
Dengan tubuh yang basah kuyup karna hujan yang terus mengalir tanpa henti, aku tersenyum, memandang wajah kesalnya karna listrik tiba-tiba padam.
Seorang wanita menghampirinnya, membungkukkan tubuhnya, meminta maaf atas ketidak nyamanan yang semewah ini.
Cut Listia Deviana namanya, wanita yang masih murung, wanita yang hanya dalam hitungan bulan mampu merubah 180 derajat kehidupannya. Listia yang saat ini ku lihat bukanlah Listia sebelum 7 Bulan yang lalu. Tapi tidak ada yang berubah di dalam hatiku, dia tetaplah Listina yang selalu memiliki tahta di hatiku, meski sepertinya dia telah lupa dengan kedudukannya di hatiku.
Dingin semakin menusuk tulangku, genggaman tanganku pada sebuah daun pisang mulai gemetar. Daun pisang, satu-satunya saksi bisu diantara kami saat mengarungi malam terindah untukku, dan mungkin untuknya pula saat itu, entah saat ini dia masih mengenangnya atau tidak.
Saat aku memandang daun pisang dalam genggamanku, tiba-tiba saja hawa dingin yang aku rasakan hilang. Berganti dengan hangat yang pekat, sangat hangat, begitu lembut. Mataku terpejam merasakan kehangatan yang begitu lembut ini.
“Iyan sayaaaaaaaaang,” entah darimana datangnya, Listia begitulah aku memanggilnya, sudah mendekap tubuhku erat dari belakang. Suaranya sangat riang, lebih riang dari biasanya.
“Seneng banget kayaknya sih,” aku meraih kedua tangannya, membalik tubuhku lalu membelai lembut rambutnya yang meriap-riap.
“Aku Masuk Finalnis Kontes Dara Aceh,” dengan cepat Listia mengambil sebuah kertas tebal bergambar logo Kebudayaan Aceh ‘FINALIS’.
Aku merangkulnya seraya berkata dengan senyuman “selamat ya sayang.”
“Pokoknya kamu harus dukung aku, Doa yang banyak, suruh temen-temen kamu juga Doakan  dan dukungannya buat aku. Pokoknya aku harus meraih impianku Iyan, harus...haruss....haruss,” huh kebiasaan Listia kalau sudah begini, dengan semangatnya dia nyerocos tanpa henti.
“Apa sih yang engTidak buat permaisuriku yang cantiknya kelewatan ini,” aku mencubit pipinya gemas sangat gemas hingga dia meringis kesakitan dan menampakan wajah kesal kepadaku. Sigap aku langsung mengusap-ngusap bekas cubitanku.
“Eh sayang, tapi aku nanti dikarantina, bisa Keluarnya cuma sebulan sekali kalau tidak salah. Tidak apa-apa kan sayang ?”
Walau ada rasa miris, tapi aku coba mengerti, “iya Tidak apa-apa kok.”
“Awas loh cari pacar lagi !” nadanya langsung berubah menyeramkan, dasar wanita.
Hari terus berlalu, wajahnya selalu berseri-seri, selain karna harus menampakan wajah yang menarik, Listia  berseri juga karna senang perolehan Pujian dari Dewan juri. Ah… apa sih yang enggak buat Listia, walaup aku seorang Penulis tapi aku rela menghabiskan lebih dari setengah hasil Penjualan Novelku hanya untuk menyewa Bus untuk Mendukungnya.
Semua itu demi kamu Listia, ya demi Listia seorang, wanita yang paling kucinta di jagat ini. Yah, walau ada rindu disini yang berada di sisi yang redup dan sepi yang selalu mengintai dari balik dinding kamar siap mencengkram rindu ini.
Hari ini Listia diberi kesempatan untuk kembali ke rumahnya oleh Panitia Kontes Dara Aceh. Dan kini kami manfaatkan waktu yang ada untuk melepaskan rindu. Aku merebahkan tubuhku di hamparan padang ilalang yang tingginya melebihi tinggiku. Listia mengikuti, menghempaskan tubuhnya menindihku dengan manjanya, hingga membuat aku sedikit tersentak.
Briiiiiieeeee !” suara petir mengagetkan kami, awan semakin pekat, hembusan angin semakin kencang. Kami berdua memutuskan untuk pulang ke rumah, berlari seolah kejar-kejaran dengan waktu jatuhnya air dari langit.
Tapi baru sampai kami pada sebuah kebun pisang, hujan turun dengan lebatnya, Tidak pakek gerimis terlebih dahulu. Langsung memuntahkan air dengan jumlah yang besar ke bumi.
Ada sebuah Parang yang tertancap di pohon pisang, langsung aku ambil, dan memotong selembar daun pisang yang panjang dan lebar, tapi kurang cukup untuk melindungi tubuh kami dari air hujan. Aku sedikit kesulitan memotong daun pisang, karna terhalang buah pisang yang sudah tumbuh banyak, apalagi aku Tidak begitu pandai menggunakan Parang di kehidupanya keseharian belatar pekerjaan penulis aku di bisakan memegang Laptop dan Polpen. Dengan asal-asalan, aku pukul-pukul golok ke buah pisang itu, hingga terpental kesana-kemari. Tubuh dari buah pisang itu ada yang hancur tak berbentuk rupanya. Sampai aku tak terhalang lagi dan mampu memotong daun pisang.
Kondisi jalan yang mulai becek dengan tanah yang telah cair, serta Listia yang semakin kedinginan. Membuat kami memelankan langkah kami, aku dekap tubuh Listia yang semakin lama gigilan tubuhnya semakin kencang. Beberapa bagian tubuh kami terkena air hujan walaupun Tidak seluruhnya.
“Romantis ya, hehehehe,” nada Listia yang khas seakan mengalahkan gemericik air hujan, walau diiringi dengan kletukan giginya yang beradu dengan cepat.
“Kamu suka ?” hhhmmm aroma wangi rambutnya semakin lekat menempel dipenciumanku, rambut yang sedikit basah terkena air hujan.
 Listia mengangguk, menutup matanya sambil menampakan senyum berpipi lesungnya itu. Rasa dingin yang dihasilkan oleh hujan ini sudah engTidak ada artinya lagi buatku. Masih terlalu kecil daripada kehangatan yang selalu dan selalu Listia berikan. Aku mempererat dekapanku, sambil mengecup rambut indahnya yang terjuntai lurus sampai pinggang, aku berkata, “aku mencintaimu, seperti apapun kamu nanti.”
 “Yann !” Listia menggenggam kedua tanganku lalu menempelkan mulutnya, menghembuskan nafas lembut, “saat aku tua nanti, dan saat volume otakku semakin menyusut dari waktu ke waktu. Aku tetap mengenang segala bentuk keindahanmu, karna kamu tidak hanya ada di otakku, tapi kamu selalu ada disini, “dia menuntun tanganku menyentuh dadanya, “di hati yang Tidak pernah menyusut walau termakan sang waktu.”
Sementara langit menghujan, kami selalu berbagi senyum yang pastinya akan selalu aku kenang. Yaaa, aku akan terus menerus mencoretkan kenangan ini di hatiku, Tidak perlu takut kehabisan tinta, karna air hujan yang dicampur dengan tanah dapat aku gunakan sebagai tinta tambahan.
Semakin lama, Tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti, bahkan semakin lebat mengguyur tubuh kami. Daun pisang sebagai satu-satu pelindung kami, sudah tak mampu lagi menahan derasnya air yang turun, kami sudah benar-benar basah kali ini. Tapi kami tetap berjalan, terus berjalan hingga kami sampai pada rumah Listia.
“Hei Yan, masih aja payungan pake daun pisang,” ah aku baru sadar kami sudah berada di dalam rumah Listia. Kami tertawa geli, sampai-sampai Listia memegang perutnya. Aku langsung letakan daun pisang di samping kursi, sepertinya aku Tidak ada niat buat membuang daun pisang ini.
Listia pergi sebentar menuju sebuah ruangan, tak lama dia datang dan sudah berganti pakaian. Dia juga membawa satu set pakaian pria lalu memberikannya padaku, “pake aja punya kakakku !”
“Iya,” aku menggigil, pergi ke kamar mandi untuk mengganti pakaian.
Saat aku kembali ke ruang depan, sudah ada dua cangkir teh hangat dan biskuit di meja. Listia tersenyum menyambutku datang lalu memberi isyarat dengan tangannya agar aku duduk di sampingnya.
“Buat apa sih kamu bikinin aku teh anget ?” aku sedikit ketus.
“Biar anget, kan kita abis ke hujanan,” Listia sedikit sewot, memajukan bibirnya yang menggemaskan, “Tidak pake Urat juga kali nanyanya... huh.”
“Lah gimana Tidak pakek urat coba, aku tuh Tidak butuh teh ataupun apalah-apalah untuk sekedar menghangatkanku. Aku cuma butuh kamu,” aku tersenyum lebar, lalu memeluk tubuhnya erat-erat, menekan hidungnya yang memerah karna kedinginan.
“Iiiih apaan sih, Tidak jelas banget gombalannya,” Listia coba menjauhkan tubuhku, tapi sepertinya Tidak niat deh karna dorongan tangannya terasa sangat lemah, atau rasa cintaku yang terlalu kuat padanya hingga dia Tidak mampu melepaskan jerat benang-benang kasihku ini.
Dalam sekian detik waktu berhenti, terjadi keheningan diantara gemerincik air hujan di luar sana. Terjadi kebisuan diantara dentingan jam dinding yang berdetak. Terjadi suatu moment dimana hanya desiran-desiran nafas yang penuh dengan cinta berbaur menjadi satu, menyampaikan lantunan-lantunan kasih dari jantung yang memainkan irama keindahan.
Dan saat inilah, pintu-pintu hasrat terbuka, cinta berubah jadi magnet yang saling mendekatkan dua tubuh yang sedang terbuai oleh cinta. Hingga mampu menyeret bibir kami berdua untuk saling bertemu.
*******
Dukung aku ya menang di final minggu depan !” kami berpelukan saat aku mengantarnya ke terminal. “Pasti, semangat ya, kamu harus menang !”
Listia melepas peluknya, berjalan mundur menuju bus yang telah menunggunya, sambil terus berkata, “semangat semangat harus juara juara,” begitulah dengan gestur yang melenggang dan wajah yang ceria.
HUTAMMMMMMMMMM,” sebuah mobil Labi – labi  angkutan umum tiba-tiba menghantam Listia, dia terpental hingga beberapa meter, darah segar langsung mengucur dan membasahi wajah serta kepalanya.
“LISTIAAAAAAAA !”
Aku berlari menuju Listia yang tergeletak di atas aspal, orang-orang langsung berkerumun. Aku histeris menggoyang-goyangkan tubuhnya.
“Tolooonngggg, siapa aja tolonngggg.”
Aku beserta orang-orang yang menolongnya langsung membawanya ke rumah sakit terdekat, aku terus membersihkan darah Listia yang masih mengalir. Pikiranku kacau, suasana berubah seketika.
Saat di rumah sakit, Listia langsung dilarikan ke ruang UGD, aku menunggu dengan perasaan gusar di depan ruangan. Air mataku terus bercucuran, aku bersimpuh diantara tembok rumah sakit, gak peduli lagi dengan pandangan orang-orang yang iba terhadapku.
Bodoh...bodoh...bodoh, seharusnya aku menjaga Listia sampai ke tujuan, seharusnya aku aaaaaaakkkkkkhhhh. Aku benar-benar kacau, aku menghantam-hantamkan tinjuku pada lantai rumah sakit. Gak ada rasa sakit meskipun kepalan tanganku mulai mengeluarkan darah segar.
“Siapa saja, gak peduli malaikat atau iblis, silahkan menukar kehidupan Listia dengan nyawaku. Dia masih mempunyai impian yang belum terwujud, dia harus menggapai mimpinya. Silahkan ambil nyawaku ! atau jika nyawaku ini terlalu murah untuk ditukar oleh keselamatan Listia, silahkan hapus ingatan Listia tentang diriku, aku rela dia melupakanku untuk ditukar dengan keselamatannya. AKU RELAAAAAAA !”
“Baiklah.”
Entah darimana datangnya suara yang menggema di otakku, suara yang berat dan juga dalam. Saat itu juga tiba-tiba pandanganku memburam, semakin buram hingga aku tak dapat melihat apapun, dan saat itu pula aku sudah tak tau apa yang terjadi lagi.
*********
The winner is-“ si pembawa acara menahan ucapannya, membuat seluruh kedua finalis berdegup kencang, bahkan penonton yang ada di studio pun hening menanti lanjutan dari ucapan si pembawa acara, termasuk diriku yang kini sedang mencengkram guling erat-erat menatap layar kaca TVRI Aceh. “LISTIANAAAAAAA !”
“Hyaaaaaaaaa,” seluruh penonton bersorak, Listia menuntup kedua matanya, dia tersenyum sekaligus menangis. Aku langsung berjingkrang kegirangan, melompat kesana kemari. Dan akupun ikut meneteskan air mata bahagia. Listia menang, dia mewujudkan impiannya.
Yeah Listia memenangkan Kontes Dara Aceh, dan dihadiahi oleh uang yang jumlahnya lumayan besar dan juga Kontrak Sebagai Model Beberapa Majalah ternama. Kini kehidupan Listia berubah 180 derajat, dia kini menjadi seorang model yang terkenal di seluruh penjuru negeri.
Lampu toko sudah menyala sedari tadi, Listia masih asik memilih berbagai macam pakaian mewah. Tiga jam sudah aku memandangnya dari luar toko, hujan masih turun dengan lebatnya seolah ada lautan di langit sana yang gak pernah habis memuntahkan airnya.
Setelah mendapatkan beberapa pakaian, Listia sepertinya sudah puas berbelanja dan membayarkan ke meja kasir. Setelah itu dia berjalan keluar toko lalu menepuk-nepuk tangannya, memanggil supir pribadinya yang sedang berada di dalam mobil tak jauh dari toko, hanya berjarak beberapa meter saja, meminta untuk di jemput karna di luar ini masih hujan.
Tapi nampaknya sang sopir tertidur dan tak mengetahui Listia memanggilnya. Aku berjalan menuju Listia, aku berusaha menenangkan diriku meski jantungku berdegup sangat kencang. Aku payungkan Listia dengan selembar daun pisang yang ku bawa.
“Sepertinya supirmu terlalu asik tidur deh,” Listia terlihat bingung melihat aku yang tiba-tiba memayungkan dia.
“Ma-makasih,” dan kamipun berjalan menuju mobil Listia yang terparkir tak jauh dari toko.
Listia mengetuk pintu mobil, sang supir terkaget seketika. Lalu Listia membuka pintu mobil kemudian memasukinya. Beberapa detik kemudian kaca mobil terbuka, lalu Listia menyodorkan selembar uang seratus ribu kepadaku.
“Gak usah nona,” aku tersenyum seraya menggeleng.
“Tapi aku ikhlas.”
“Aku juga ikhlas kok melakukan hal kecil seperti ini,” yeah sangat ikhlas Listia, andai kamu tau ada hal besar yang telah aku lakukan untukmu, tapi.....
Listia masih memandangku penuh keheranan, menarik kembali uang yang tadi ingin dia berikan, “Siapa kamu ? kamu seperti gak asing buat aku.”
Aku tersenyum getir, hatiku terasa teraduk-aduk oleh berbagai macam perasaan, “aku bukan siapa-siapa kok.”
“Kamu dari tadi memperhatikan aku kan dari luar, gak tau kenapa perasaanku sangat sesak melihat kamu menatapku seperti ini,” dahi Listia mengkerut, menyiratkan berbagai macam pertanyaan.
Aku menggeleng lalu melangkah mundur, menjauhi Listia yang masih memandangku dengan penuh tanya. Tubuhku gemetar bukan karna dinginnya hujan, tapi karna perasaanku yang tak dapat aku kendalikan. “Aku hanya seorang pria yang akan selalu mengingatmu.”
Tiba – tiba dari belakang sebuah Minibus datang HUTAMMMMMMMMMM,” Kepalaku terpental bersama Tas yang berisi Laptop dan matakupun tertutup.
******************
*Masa kini
Mataku terbuka, samar-samar dapat aku lihat wajah bang Hendri dan dokter Hen yang berada di sebelahku.“Kamu udah sadar Iyan ?”
“Bang.” “Aku mau pulang,” kataku lemah, aku sadar dengan semua ini, “aku mau ketemua Mamah dan Papah”
Dek,” bang Hendri langsung memelukku erat, tangisnya pecah dalam pelukannya.
“Siapa kamu ?” tanya dokter Hen.
“Iyan,” aku menjawab.
kenapa kamu di sini ?”
Aku mungkin mengalami gangguan jiwa
Bang Hendri melepas pelukannya, membasuk air matanya. Dokter hen dan Bang Hendri saling menatap dan tersenyum, “jadi adeku boleh pulang dok ?”
“Kita liat perkembangannya seminggu kedepan.”
*Seminggu kemudian
Sejuknya udara pagi Jalan kakap ujung serta secangkir teh manis hangat membuatku sangat tenang kali ini. Sambil menatap segala macam aktifitas para pasien serta staf rumah sakit, aku tersenyum.
“Gimana dek Kopinya ?” bang Hendri duduk disebelahku sambil menaruh sepiring biskuit.

 “Oh iya bang ada kabar gembira loh,” bang hendri menatapku senang, “Listia pasien jiwa di sini Sudah sembuh dari penyakit jiwanya dan kami ingin menikah setelah Novel keduaku tentang kejiwaan siap Iyan,” Bang Hendi memelukku, air matanya mengalir dan menatapku nanar, dia bergeleng-geleng dengan isak tangis yang menusuk.

Popular posts from this blog

Makalah Sejarah ilmu Gizi

Penilaian Program Kesehatan

CONTOH PROPOSAL DIARE ( TELAH DI ACC )